Hukum di Indonesia belum dapat diharapkan untuk memberikan keadilan. Penegakan hukum masih tampak memandang stratifikasi sosial dan penggolongan berdasarkan kemampuan ekonomi. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat menengah ke atas mendapatkan perlakuan dibandingkan masyarakat menengah ke bawah.
Penegakan hukum dalam ranah narkotika juga masih memandang stratifikasi sosial. Banyak pemakai narkotika yang menjadi sasaran empuk BNN adalah kalangan masyarakat menengah ke bawah dengan latar belakang ekonomi yang lemah. Mereka juga dengan tingkat pendidikan yang terbatas sehingga dapat menjadi objek pemerasan aparat kepolisian dan/atau BNN.
Mereka yang memiliki status menengah ke atas akan mencari cara lain agar tidak tertangkap oleh para penegak hukum. Cara tersebut misalnya dengan menyogok atau memberi imbalan agar tindakan mereka dapat dilindungi.
Apabila tertangkap pihak kepolisian, pengguna narkotika akan menjalankan rehabilitasi sosial. Prosedur ini diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2009. Dalam rehabilitasi sosial, mereka akan melaksanakan suatu kegiatan terpadu atau bermanfaat secara fisik dan mental kepada pecandu narkotika sehingga dapat melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut dilakukan karena banyaknya stigma di masyarakat yang mendiskreditkan mantan pecandu narkotika.
Rehabilitasi sosial juga diatur dalam Pasal 103 UU Narkotika, mengenai kewenangan hakim terhadap pengguna narkotika. Hakim memiliki kewenangan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila pecandu narkotika terbukti bersalah dalam tindak pidana narkotika.
Hakim juga dapat memerintahkan mereka menjalani pengobatan dan/atau perawatan apabila mereka bukan hanya pelaku tetapi juga pecandu yang merupakan korban dari kejahatan.
Pecandu narkotika akan ditempatkan ke dalam rehabilitasi sosial setelah memenuhi persyaratan dalam putusan rehabilitasi sosial. Persyaratan tersebut antara lain pecandu tertangkap tangan pada saat pecandu tersebut ditemukan barang bukti narkotika dalam pemakaian kurang lebih satu hari. Mereka juga terbukti melalui surat uji laboratorium positif menggunakan narkotika.
Selain itu, mereka terbukti melalui surat keterangan dokter jiwa/psikiater dan tidak terbukti terlibat dalam peredaran gelap narkotika. Apabila pengguna sekaligus pengedar, ditindaklanjuti di luar rehabilitasi sosial atau pidana yang lebih tinggi.
Penegakan hukum merupakan pembuktian apakah penegakan hukum menjadi sebuah kenyataan dilaksanakan, untuk membuktikan penegakan tersebut maka ada beberapa unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, dalam hal ini hukum harus dilaksanakan, ditegakkan, dan tidak boleh menyimpang.
Selanjutnya adalah manfaat. Masyarakat menginginkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum sehingga hukum tidak ada timbul keresahan di masyarakat. Selanjutnya yang paling penting adalah keadilan, dalam hal ini penegakan hukum harus adil dalam pelaksanaannya dan hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
Penegakan hukum masih memiliki permasalahan pokok yang harus diselesaikan bersama sehingga hukum dapat ditegakkan. Soerjono Soekanto mengatakan ada permasalahan dalam penegakan hukum karena peraturan tertulis yang belum sesuai, penegakan hukum yang masih belum sesuai dengan tujuannya, dan faktor masyarakat yang belum patuh terhadap hukum.
Beberapa faktor permasalahan tersebut harus diselesaikan bersama-sama sehingga permasalahan pokok penegakan hukum di Indonesia dapat terselesaikan.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa kendala penegakan hukum yaitu terdapat status quo tanpa berusaha melihat aneka kelemahan di dalamnya dan bertindak mengatasinya.
Dalam hal ini, kita hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan tidak memperbaiki sesuatu yang salah dalam penegakan hukum kita sehingga hukum akan menjadi benteng perlindungan bagi orang-orang mapan dan demikian jika terus dipraktekkan maka keadilan sosial akan sulit tercapai.
Salah satu permasalahan yang belum diakomodir secara jelas adalah terkait pengaturan pengguna narkotika di dalam UU Narkotika. Hanya saja Pasal 1 angka 15 menyatakan bahwa penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Penyalahguna narkotika dapat diartikan secara luas termasuk produsen, pengedar maupun pengguna. Mereka semua menyalahgunakan narkotika. Hal ini menyebabkan kedudukan pengguna narkotika menjadi sulit untuk diposisikan apakah sebagai pelaku atau korban dari kejahatan tindak pidana narkotika.
Jika diposisikan sebagai pelaku maka akan dijatuhkan hukuman pidana dan jika diposisikan sebagai korban maka akan diarahkan untuk rehabilitasi. Ketidakjelasan pengaturan tersebut akan menyebabkan salah tafsir dalam memberikan hukuman pidana.
Ketentuan tersebut dapat menimbulkan kerancuan dalam UU Narkotika, khususnya dalam ketentuan rehabilitasi bagi pengguna. Dalam ketentuan yang ada dalam UU Narkotika disebutkan bahwa setiap pecandu wajib menjalani rehabilitasi, namun dalam ketentuan selanjutnya disebutkan bahwa dalam prosedur yang harus dilewati dalam tahapan rehabilitasi harus mendapatkan persetujuan dari korban yang bersangkutan. Hal ini merupakan 2 (dua) hal yang bertentangan karena pada umumnya pecandu tidak akan memberikan persetujuannya untuk menjalani rehabilitasi.
Dalam UU Narkotika tersebut masih perlu pengaturan yang lebih jelas mengenai posisi pengguna sebagai korban serta perlu juga dilakukan revisi terhadap zat-zat yang ada dalam lampiran. Sementara itu, penerapan pasal terkait dengan pecandu narkotika banyak menimbulkan permasalahan yakni dimasukkan dalam klasifikasi mana dapat dikatakan seseorang sebagai pecandu narkotika.
Selain itu, aturan terkait dengan pecandu juga menimbulkan kerancuan dan multitafsir terutama dalam menentukan kategori antara pecandu dan penyalahguna narkotika. Oleh karena itu untuk menentukan seseorang adalah pecandu atau pengguna perlu dilakukan kajian medis, kajian jaringan serta kajian hukum.