Keuntungan ekonomi digital yang semakin disadari banyak pihak mendorong hadirnya sebuah kebijakan dan informasi menyuluruh sebagai upaya pengakomodiran digital ekonomi agar semakin berkembang. Badan Pusat Statistik (BPS) di awal Januari 2018 mulai mendata transaksi nilai dan volume perdagangan e-commerce sebagai upaya penguat basis data pengambilan keputusan dalam kebijakan e-commerce.
Para pelaku e-commerce berharap agar kebijakan yang dikeluarkan tersebut tidak menghambat proses pertumbuhan industri e-commerce di Indonesia. Tujuan diberlakukannya kebijakan tersebut oleh pemerintah sebenarnya sebagai bentuk kepastian pajak yang terutang melalui transaksi konvensional dan pajak yang terutang melalui transaksi e-commerce yang telah dipungut sesuai aturan yang berlaku. Dengan begitu, baik dari segi konsumen maupun pedagang konvensional dan e-commerce sama-sama melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Tahap pungutan pajak ini juga akan diatur pemerintah supaya tidak ada perbedaan tarif pajak yang dikenakan dalam transaksi konvensional ataupun e-commerce. Pemerintah akan fokus mengatur agar pedagang yang berjualan melalui e-commerce dapat menyetorkan sebagian kecil pajak yang terutang dari transaksi tersebut (PPN dan PPh) sebagai kredit pajak. Semua kebijakan yang diambil pemerintah dalam hal e-commerce ini memerlukan sosialisasi yang efektif agar kebijakan ini dapat diterima dengan baik.
Seperti misalnya melalui pola komunikasi yang intensif dan melibatkan pihak pelaku bisnis e-commerce dapat meminimalisir gejolak dan resistensi terhadap kebijakan e-commerce. Selain itu, peran pemerintah sebagai regulator dalam ekonomi digital menjadi penting agar negara tidak hanya mampu bersaing di kancah dunia, tapi juga mampu memitigasi segala tantangan yang muncul. Terbitnya Perpres Nomor 74 Tahun 2017 tentang Peta Jalan Sistem Perdagangan Nasional Berbasis Elektronik (SPNBE) / Road Map e-Commerce Tahun 2017-2019 didasarkan dari pertimbangan bahwa ekonomi digital mempunyai potensi ekonomi yang besar dan merupakan salah satu tulang punggung perekonomian nasional.
Selain itu, Perpres tersebut juga mengamanatkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan pemanfaatan potensi ekonomi digital, diperlukan peran pemerintah untuk turut mendorong percepatan dan pengembangan sistem perdagangan nasional berbasis elektronik (e-commerce), usaha pemula (startup), pengembangan usaha, dan percepatan logistik.
Sebagai perbandingan, perusahaan besar seperti Google, Netflix, Twitter, Facebook selaku penyedia layanan OTT juga memungkinkan untuk mengindari pajak yang berlaku di negara masing-masing. Sehingga untuk menghindari hal tersebut, Inggris telah menerapkan Diverted Profit Tax (DPT) atas penghindaran pajak OTT. DPT bisa menjadi salah satu anti avoidance rule untuk mencegah praktik penghindaran pajak dengan pemberlakuan artificial permanent establishment.
Di Inggris, tarif DPT adalah 25% atau lebih besar daripada tarif pajak yang berlaku umum. Jika aturan ini diterapkan, OTT harus membayar pajak terlebih dahulu, walaupun kemudian mereka mengajukan banding ke pengadilan. DPT akan dikenakan secara official assessment bila Wajib Pajak itu tidak patuh pada tahun berikutnya. Skema DPT memungkinkan Inggris menetapkan pajak atas laba atau royalti walau telah dialihkan ke negara lain yang memiliki regulasi pajak yang kurang ketat. Di Inggris, diverted profit tax telah mampu memaksa perusahaan seperti Google dan Facebook untuk membayar pajak.
Tantangan ke depan yang perlu untuk diantisipasi oleh Instansi Kepabeanan dan instansi terkait pengawasan atas bisnis e-commerce adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pertumbuhan pasar e-commerce dunia menggeser pasar konvensional Pasar e-commerce dunia saat ini sebesar USD2.352 triliun atau Rp31.752 triliun dan akan meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2020 sebesar USD 4.058 atau Rp54.783 triliun atau 14,6% dari seluruh transaksi retail dunia. Pertumbuhan pasar e-commerce dunia hampir empat kali lipat pertumbuhan retail dunia. Hal ini menjadi tantangan kepabeanan di dunia karena karakteristik barang e-commerce yang kecil tetapi dengan volume sangat banyak dengan pertumbuhan dan pergeseran cukup signifikan. Persoalan keamanan serta hak keuangan negara versus kecepatan pelayanan dan penurunan biaya logistik menjadi tantangan kepabeanan.
2. Peningkatan kompleksitas Value Chain secara global dalam hal ini e-commerce telah menyebabkan revolusi rantai suplai barang, skema konvensional yang berjenjang dari penjual, importir, pedagang besar, pengecer, dan pembeli telah dipangkas menjadi End to End. Namun secara bersamaan efisiensi logistik menyebabkan pergerakan luar biasa barang dalam jumlah kecil dan cenderung customized. Rantai suplai menjadi kompleks dengan menggabungkan berbagai barang secara cepat dari berbagai negara, pada akhirnya asal barang country of origin (COO) menjadi semakin sulit dibedakan. Bahkan WCO menyampaikan suatu hari akan tercipta “made in world” karena kompleksitas barang tersebut.
3. Big Data (data center) menjadi perkembangan kebutuhan penyimpanan data dengan kapasitas besar dengan melakukan pemusatan infrastruktur akan mendatangkan efisiensi. Server dan storage dipusatkan di suatu negara dan negara lain cukup memiliki akses yang baik sehingga client atau user tidak mempunyai masalah terkait keberadaan storage, sepanjang kebutuhan penyimpanan terpenuhi. Tantangan negara pengguna adalah masalah keamanan data dan hilangnya importasi server, storage serta infrastruktur penunjang termasuk sumberdaya manusia. Dengan terjadinya pemusatan di suatu negara apalagi tax heaven country maka negara pengguna tidak akan memperoleh pajak-pajaknya. Dari sisi kepabeanan tentunya hilangnya potensi bea masuk atas infrastruktur tersebut.
Penyatuan ekonomi dan kepabeanan perkembangan e-commerce akan mengarahkan berbagai kesepakatan yang cenderung mendorong tidak ada batas antar negara dan penurunan tarif. Sikap beberapa negara yang berkeinginan tidak mengatur tarif untuk barang digital sebagai salah satu perwujudan arah pandang e-commerce. Berdasar dari hal tersebut, terdapat 7 isu utama yang menjadi perhatian dalam menjawab tantangan target pertumbuhan e-commerce sebesar USD130 miliar di tahun 2020, yakni :
(1) Pendidikan dan Sumber Daya Manusia (Education and Human Resources) yang terdiri dari kampanye kesadaran e-commerce, program inkubator nasional, kurikulum e-commerce, dan edukasi e-commerce kepada konsumen, pelaku, dan penegak hukum;
(2) Logistik (Logistic) melalui pemanfaatan Sistem Logistik Nasional (Sislognas), Revitalisasi, restrukturisasi dan modernisasi PT. Pos Indonesia (Persero) sebagai penyedia jasa pos nasional, pengembangan alih daya fasilitas logistik e-commerce dan pengembangan logistik dari desake kota;
(3) Pendanaan (Finance) berupa KUR untuk tenant pengembang platform, hibah untuk inkubator bisnis pendamping start-up, dana Universal Service Obligation (USO) untuk UMKM digital dan start-up e-commerce platform, angel capital yang diperlukan ketika start-up masih merugi, seed capital, dan crowdfunding;
(4) Perpajakan (Tax) dalam bentuk pengurangan pajak bagi investor lokal yang investasi di start-up, penyederhanaan izin/prosedur perpajakan bagi start-up e-commerce yang omzetnya di bawah Rp4,8 miliar/tahun, dan persamaan perlakuan perpajakan sesama pengusaha e-commerce, baik asing maupun domestik;
(5) Infrastruktur komunikasi (Communication infrastructure) melalui pembangunan jaringan broadband;
(6) Keamanan Siber (Cyber security) dengan menyusun model sistem pengawasan nasional dalam transaksi e-commerce dan mengembangkan public awareness tentang kejahatan dunia maya. Selain itu juga menyusun prosedur terkait penyimpanan data konsumen dan sertifikasi keamanan data konsumen; dan
(7) Perlindungan Konsumen (Consumer Protection) melalui harmonisasi regulasi menyangkut sertifikasielektronik, proses akreditasi, kebijakan mekanisme pembayaran, perlindungan konsumen dan pelaku industri e-commerce, dan skema penyelesaian sengketa, dan pengembangan national payment gateway secara bertahap.
Hal-hal seperti mekanisme pemungutannya dengan tahapannya perlu dipertimbangkan, dimulai dengan tata cara sederhana melalui voluntary declaration di mana pihak badan usaha secara sukarela menyampaikan pemberitahuan dan pembayaran untuk menghindari denda. Pengawasannya dilakukan melalui audit untuk meneliti laporan keuangan dalam pembiayaan impor barang digital; kerjasama dengan pihak marketplace yang berkedudukan di dalam daerah pabean secara duty delivery paid (DDP); kerjasama dengan pihak payment gateway yang melakukan konsolidasi pembayaran ataupun memotong pulsa sebagai biaya pembayaran.
Indonesia seharusnya juga dapat memperhatikan dengan serius pergeseran ini terutama untuk barang digital dengan menyadari berbagai kepentingan nasional. Sebagai contoh adalah film yang diproduksi di dalam negeri akan terkena berbagai beban perpajakan, dan jika diimpor secara fisik juga terdapat beban perpajakan namun saat ini apabila dikirim melalui transmisi elektronik masih belum dikenakan kewajiban perpajakan. Hal tersebut tentunya salah satu perlakuan yang tidak adil.