Dalam kasus pembelajaran online di neagra kecil di Asaia Selatan misalnya seperti Bhutan, sebagian besar pelajar berasal dari pedesaan di mana orang tua sebagian besar adalah petani yang buta huruf. Siswa terlibat dalam membantu orang tua dalam kegiatan pertanian seperti berkebun, merawat ternak dan pekerjaan rumah tangga. Beberapa siswa bahkan meminta untuk menunda waktu ujian menjelang sore hari karena harus bekerja di lapangan bersama orang tua pada pagi hari.
Beberapa siswa menyatakan bahwa mereka harus merawat orang tua, kakek nenek maupun anggota keluarga mereka yang sakit dan membawanya ke rumah sakit. Menjelang malam, ketika mereka kembali ke rumah, menjadi sulit bagi mereka untuk mengikuti pelajaran. Para orang tua yang anaknya di kelas yang lebih rendah merasa lebih baik membiarkan anak mengulang tahun ajaran berikutnya. Mayoritas siswa tidak memiliki akses ke smartphone atau TV di rumah selain tidak memiliki konektivitas internet. Tidak ada atau kurangnya pendapatan untuk populasi besar karena penutupan kantor serta bisnis. Paket data dengan biaya yang relatif tinggi dibandingkan pendapatan rata-rata yang diperoleh, dan akses berkelanjutan ke Internet adalah sesuatu yang mahal bagi para petani. Kelas tatap muka online didorong oleh sebagian besar, namun beberapa siswa yang kurang beruntung secara ekonomi telah menyatakan bahwa kelas online tatap muka lebih banyak menghabiskan paket data. Para guru berada dalam dilema tentang siapa yang harus didengarkan dan alat mana yang harus digunakan. Beberapa orang berpikir video yang direkam sebelumnya dapat membantu, namun ini akan membatasi interaksi. Sulit untuk merancang sistem yang tepat agar sesuai dengan kebutuhan belajar dan kenyamanan semua siswa.