Rasanya belum lama publik bergejolak hebat menolak pemberlakuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 (UU KPK) sebagai revisi kedua atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK. Gejolak tersebut menyeruak sekitar September 2019 lalu, momentum yang dikenal dengan sebutan “Reformasi Dikorupsi” tersebut. Tentu menjadi salah satu bukti betapa massifnya penolakan publik hampir di seluruh penjuru Nusantara atas akan diberlakukannya beberapa undang-undang kontroversial salah satunya ialah UU KPK.
Beberapa waktu setelahnya, banyak pihak mulai mengajukan permohonan uji formil dan materil terhadap UU KPK kepada Mahkamah Konstitusi. Terhitung ada sebanyak tujuh permohonan yang masing-masing secara holistik kompak menolak eksistensi UU KPK karena berbagai alasan. Setelah melalui proses persidangan yang panjang, tepat pada hari Selasa, 4 Mei 2020. Mahkamah Konstitusi menjatuhkan putusan atas ketujuh permohonan tersebut, yang mana menolak seluruh pengujian formil dan mengabulkan sebagian pengujian materiil atas UU KPK.
Adapun dalam ketujuh putusan tersebut, sebetulnya banyak sekali kajian hukum yang dapat ditelaah lebih mendalam. Serta akan berkonsekuensi sangat signifikan dalam pembentukan hukum ke depan di Indonesia. Penulis mencoba untuk mengambil satu kajian hukum yakni ditolaknya pengujian materiil atas pengaturan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK.
Sejatinya pengaturan SP3 telah diatur hukum acara pidana, mengingat SP3 telah diatur dalam Pasal 109 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Adapun SP3 dapat dikeluarkan manakala telah memenuhi salah satu dari ketiga alasan dilakukannya penghentian penyidikan yakni; 1) tidak terdapat cukup bukti (minimal dua alat bukti); 2) peristiwa yang disidik ternyata bukan merupakan tindak pidana; dan 3) penyidikan dihentikan demi hukum (nebis in idem, daluwarsa perkara pidana, tersangka meninggal dunia).
Dalam Pasal 40 ayat (1) UU KPK diatur mengenai limitasi penyidikan dan penuntutan yang tidak selesai dalam janga waktu paling lama dua tahun, maka KPK dapat menghentikannya melalui dikeluarkannya SP3. Limitasi tersebut memang menuai pro maupun kontra, mengingat formulasi norma tersebut lahir bukan tanpa sebab, malahan didasarkan pada argumentasi kemanusiaan.
Sengkarut Pengaturan SP3 dalam UU KPK
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dasar terpenting dalam formulasi SP3 dalam UU KPK ialah alasan kemanusiaan. Dikarenakan proses penyidikan dilakukan oleh manusia dan tidak terlepas dari adanya faktor kesalahan manusia (human eror). Melalui SP3 aspek human eror tersebut dapat dievalusasi sekaligus dikoreksi. Kemudian akibat yang ditimbulkan manakala penyidikan terus berlanjut tanpa memperhatikan hak tersangka tentu akan berakibat pada tidak terpenuhinya kepastian hukum bagi tersangka.