Pasal 1233 KUHPdt mengatur bahwa perikatan lahir akan karena suatu persetujuan atau undang-undang. Dalam konteks kasus diatas, S (korban) dan Lembaga Pembiayaan dengan jejaring pinjaman online (Pinjol) telah melakukan perikatan berupa perjanjian hutang-piutang. Tujuan dari diadakannya suatu perjanjian tersebut tidak terlepas dari kepentingan atau kehendak oleh para pihak. Oleh karena itu, dalam rangka memastikan kepentingan para pihak untuk direalisasikan maka dibentuklah suatu perjanjian yang mengandung suatu klausul berupa prestasi-prestasi tertentu seperti memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat suatu, sebagaimana yang tercantum pada Pasal 1234 KUHPdt.
Mula-mulanya, hal yang dialami oleh S dan pihak Pinjol dapat diilustrasikan secara sederhana sebagai berikut. Pinjaman oleh (Pinjol) selaku kreditur memberikan pinjaman kredit (utang) beserta bunga dengan nominal yang telah disepakati, sedangkan pihak S selaku debitur wajib untuk membayar tagihan utang pokok dan bunganya beserta perbuatan tertentu. Sehubungan dengan kasus diatas, upaya penagihan yang dilakukan pihak Pinjol merupakan hak yang dimiliki oleh kreditur, sehingga debitur wajib membayar sebagaimana yang telah diperjanjikan sebelumnya.
Perlu diingat bahwa dalam suatu perjanjian memiliki hubungan hukum yang terikat dengan hak dan kewajiban di dalamnya. Lantas, menurut penulis tindakan yang dilakukan oleh Pinjol selaku kreditur sudah merupakan perbuatan yang benar, karena memang sesuai dengan hak yang dimilikinya dan S selaku debitur berkewajiban untuk memenuhinya.
Apabila tidak menunaikan kewajiban membayar tagihan sesuai dengan waktu dan telah jatuh tempo sebagaimana yang telah diperjanjikan, maka debitur dapat dikategorikan sebagai perbuatan mengingkari perjanjian yang telah disepakati atau disebut dengan wanprestasi. Pasal 1243 KUHPdt pun telah menyatakan bahwa “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Sehingga secara normatif yuridis, tindakan yang telah dilakukan oleh kreditur tersebut dibenarkan secara hukum dan justru apabila kreditur tidak melakukan penagihan dapat pula dikategorikan sebagai bentuk wanprestasi. Sebaliknya, apabila debitur tidak dapat membuktikan, maka debitur dapat dihukum sebagaimana yang diterangkan dalam Pasal 1244 KUHPdt. Namun seolah-olah isu ini menyalahkan pihak krediturnya, padahal telah dijelaskan sebelumnya bahwa penagihan merupakan hak yang dimiliki oleh kreditur.
Sementara, apabila ditinjau dari segi objektif permasalahan akan isu ini, bukan soal penagihannya, tetapi cara penagihannya yang dipersoalkan. Contohnya, S selaku debitur telah menerima teror yang berulang dari pihak debt collector sebagai pihak ketiga yang melakukan penagihan kepada para debiturnya. Bahkan, sempat dikabarkan pula S sempat ingin untuk bunuh diri akibat tindakan tersebut. Problematika ini dapat terjadi karena kurangnya pemahaman terkait prosedur hukum yang berlaku dalam proses penagihan. Selain itu juga gagalnya upaya pengoptimalisasi instrumen hukum yang diberikan oleh undang-undang.