Masih ingat dengan gugatan yang diajukan oleh saudara Enggal Pramukty kepada Presiden Jokowi beberapa waktu lalu? Gugatan tersebut lazim disebut dengan class action lawsuit, yang diajukan karena Presiden Jokowi dinilai lalai dalam tugasnya untuk melindungi pelaku UMKM, seperti Mas Enggal dengan rekan-rekannya dari dampak pandemi COVID-19 sejak awal Maret 2020.
Sejatinya, dalam sistem hukum di Indonesia yang menganut civil law, tidak memiliki mekanisme gugatan tersebut. Class action awalnya berkembang di negara-negara penganut sistem hukum common law yang kemudian diadopsi oleh negara-negara penganut sistem hukum civil law, seperti Indonesia. Tentunya hal ini membantu perkembangan sistem hukum Indonesia menjadi lebih baik karena dengan class action lawsuit, putusan yang berulang-ulang yang dapat berisiko adanya inkonsistensi putusan dalam perkara yang sama dapat dihindari.
Namun, selain class action yang diadopsi oleh sistem hukum Indonesia, timbul tanda tanya mengenai suatu mekanisme sistem hukum common law lain, yakni bagaimana masa depannya – dalam perkembangannya – di Indonesia. Apakah akan diadopsi oleh sistem hukum Indonesia secara teregulasi dan terlegitimasi dengan baik? Pertanyaan-pertanyaan ini, saya dapatkan ketika saya mengikuti sebuah webinar beberapa waktu lalu. Amicus curiae lah nama pranata hukum tersebut.
Pengertian “Sahabat Pengadilan”
Secara kebahasaan, amicus curiae – adalah bahasa Latin, plural: Amici Curiae – yang memiliki arti Sahabat Pengadilan (friend of the court). B. Robert Hopper memberikan pengertian dalam J. Marshall L. Review (2017) bahwa amicus curiae adalah seseorang yang bukan pihak dari pihak-pihak yang bersengketa dalam pengadilan, namun membantu pengadilan dengan cara yang lain. Arti “cara lain” disini adalah dengan memberikan keterangan tertulis berupa dokumen – disebut amicus brief – atau dengan memberikan keterangan secara lisan. untuk membantu pengadilan menjernihkan suatu persoalan dalam rangka menemukan keadilan. Meskipun ikut terjun dalam persidangan, amicus curiae disini hanyalah bersifat keterangan dan bukan melakukan perlawanan,
Amicus Curiae di Indonesia
Dalam sistem hukum Indonesia, dasar hukum yang menjadi acuan keberlakuan amicus curiae terdapat dalam:
- Pasal 180 ayat (1) KUHAP yang berbunyi: “Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.” dan;
- Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.
Menurut Miko S. Ginting, pengajar hukum pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, hadirnya ˆ dalam konteks pengadilan ini tentu mendorong kualitas putusan majelis hakim dengan keterangan-keterangan yang bersifat empiris, juga memperkokoh penyeimbangan posisi para pihak (equality of arms). Namun, berbeda halnya dengan keterangan ahli yang sebagai alat bukti, amicus curiae tidak dapat mempengaruhi hakim dalam putusannya.
Hal ini kembali lagi kepada kekuasaan kehakiman dimana hakim dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, harus berdiri dan berkewajiban menjaga kemandirian hakim. Keberadaan amicus curiae ini tentu juga mendorong sistem demokrasi mengingat mekanisme tersebut merupakan suatu sarana publik – untuk membawa kepentingan publik dalam litigasi – karena pengajuan amicus curiae dapat dilakukan jika ada dampak sosial yang timbul akibat suatu sengketa.