Kekerasan seksual terhadap anak dapat terjadi di mana saja. Dewasa ini, kasus pelecahan terhadap anak di bawah umur kian marak terjadi dan membuat orang tua semakin khawatir. Tindakan yang dilakukan oleh orang dewasa terhadap anak walaupun tidak dengan menggunakan kekerasan atau memaksa secara hukum tindakan pidana tersebut masuk ke dalam kategori tindak pidana pemerkosaan terhadap anak (statutory rape).
Secara harfiah, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai kontak seksual yang tidak dikehendaki oleh salah satu pihak (M.Irsyad, 2010: 518). Pengertian mengenai kekerasan seksual dapat ditemui dalam Pasal 285 KUHP yang berbunyi, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun“.
[rml_read_more]
Pada Pasal 287 KUHP, dijelaskan bahwa apabila terjadi pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, dalam hal ini usia korban belum cukup 15 tahun, pelaku dapat dijatuhi hukuman pidana penjara maksimal 9 tahun. Dengan demikian, menurut hukum, kontak seksual dalam bentuk persetubuhan dengan seseorang yang berumur di bawah 15 tahun masuk ke dalam ruang lingkup tindak pidana.
Sebagai upaya negara untuk menjamin hak-hak sipil dan keadaan tertib sosial, aparatur negara sebagai otoritas yang memiliki kewajiban dalam mengupayakan keamanan masyarakat sudah selayaknya mengambil tindakan tegas terhadap para pelaku kejahatan seksual ini di segala bentuk penyimpangan yang ada. Bentuk-bentuk kekerasan seksual tersebut dapat berupa :
1. Perkosaan
2. Sodomi
3. Oral Seks
4. Sexual Gesture
5. Sexual Remark
6. Pelecehan Seksual
7. Sunat Klitoris pada anak perempuan
Kejelian para aparat penegak hukum dalam mengidentifikasi segala bentuk pelanggaran yang ada sangat diperlukan dalam rangka menegakan ketetapan hukum dan menjamin masyarakat yang terbebas dari segala bentuk kejahatan seksual yang ada, terutama bagi anak-anak di bawah umur.
Perkosaan terhadap anak di luar rumah
Kebutuhan biologis berupa hubungan seksual bagi orang dewasa merupakan hal alamiah sebagai reaksi tubuh dan keinginan manusia dalam rangka melanjutkan keturunan. Namun, ketertarikan orang dewasa pada seks rekreasional yang menjadikan anak sebagai objek perangsang dan pelampiasan libido dilarang dalam KUHP, sebagaimana diatur dalam Pasal 287 KUHP. Hal ini dapat dipahami sebagai pemberian perlindungan normatif terhadap anak dari ancaman kekerasan seksual.
Secara biologis, anak yang masih di bawah umur belum memiliki kematangan secara hormonal dan psikis serta kesiapan pada organ seksual. Apabila terjadi pemaksaan hubungan seksual maka tubuh akan bereaksi berlawanan dikarenakan anak belum memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Oleh karenanya, hubungan seksual yang dilakukan antara anak dengan orang dewasa, menurut penelitian dari Jared Diamond hanyalah berlandaskan nafsu dan kepuasan dari pihak orang dewasa belaka.
Suatu hal yang amat disayangkan adalah KUHP merespon fenomena ini dengan solusi yang kurang tegas, dimana dijelaskan pada Pasal 287 ayat (2), “Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan Pasal 291 dan Pasal 294”. Ketentuan tersebut membuat kasus kejahatan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur haruslah dilaporkan terlebih dahulu kepada pihak yang berwajib jika ingin ditindaklanjuti lebih lanjut (berkaitan dengan delik aduan). Memang dalam ayat (2) ini ada pengecualian, tetapi pengecualian ini tetap saja bersifat diskriminatif yang tidak bisa menghapuskan rasa kepuasaan akan jaminan penegakan hukum bagi masyarakat.
Kejahatan pelecehan seksual terhadap anak kandung
Pada Pasal 294 KUHP, dijelaskan, “Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya, anak tirinya, anak angkatnya, anak di bawah pengawasannya yang belum dewasa, atau dengan orang yang belum dewasa yang pemeliharaannya, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya ataupun dengan bujangnya atau bawahannya yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.” Ketentuan ini menjawab pemberian hukuman bagi seseorang yang dengan sengaja memperkosa atau melakukan tindak pelecehan seksual yang ditujukan kepada anak sah/anak kandung berupa sanksi pidana penjara maksimal tujuh tahun.