Terlebih, rezim sebelumnya telah banyak berusaha menuntaskan masalah, utamanya Presiden Abdurrachman Wahid melalui pendekatannya yang istimewa. Pemerintahan Presiden Joko Widodo seharusnya lebih mengutamakan kepentingan masyarakat Papua. Karenanya, menjadi suatu urgensi menggugat penyematan label teroris terhadap KKB Papua.
Mengenai permasalahan Papua, juga sering terjadi diskriminasi dan ejekan yang sempat terjadi pada mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Berkaitan dengan HAM di Papua saja, masih banyak timbul singgungan yang bisa saja merupakan pelanggaran HAM.
Prosedur penentuan organisasi teroris di Indonesia diatur dalam UU Anti Terorisme Nomor 5 Tahun 2018. Meskipun, terdapat banyak prosedur penetapan terorisme yang tidak dilalui. Dapat dikatakan, Pemerintah telah melanggar hukum.
Prosedur penentuan organisasi teroris juga dijelaskan pada Consolidated List PBB. Menurut Milda Istiqomah, akar masalah konflik di Papua, yang juga merupakan hasil studi LIPI, ialah sejarah integrasi, status dan integritas politik, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, kegagalan pembangunan, marginalisasi orang Papua, hingga inkonsistensi kebijakan otonomi khusus. Penting bagi masyarakat Indonesia membuka mata dan membuka hati secara sah dan meyakinkan untuk menggugat penyematan label teroris terhadap KKB Papua.
Dosen Hukum Pidana Universitas Jember, I Gede Widhiana Suarda, Ph.D. melakukan kajian atas penetapan KKB Papua secara konseptual. Menurut Concepts (Presman & Flockton, 2014) terdapat Terrorism, yang memiliki ideologi akan tetapi sasarannya sudah pada publik, tidak memiliki satu target tertentu. Contohnya adalah bom bunuh diri. Extremism adalah lingkup sasarannya kecil dalam anti kelompok tertentu. Contohnya kelompok anti aborsi, yang melakukan tindak pidana seperti membakar klinik aborsi, membunuh dokter yang memiliki keahlian dalam aborsi.
Political Violence, kekerasan politik dimana ada keinginan dari Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia dari sejarahnya. Kelompok ini menyerang Civilian, selama kelompok ini menyerang simbol pemerintah secara sah (TNI, Polri, dll), mereka masih dalam ruang lingkup Political Violence. Serta terakhir, Non-Ideological Violent Offenders.
Pencegahan terorisme sebenarnya telah diatur jelas pada UU No. 5 Tahun 2018 tentang Terorisme. Kesiapsiagaan nasional terakomodasi Pasal 43B ayat (1) dan (4) sebagai bentuk antisipasi dan pencegahan terorisme melalui pemberdayaan masyarakat, peningkatan kemampuan aparatur, hingga peningkatan sarana prasarana demi menekan paham radikal terorisme.
Selanjutnya, terdapat kontra radikalisasi sebagaimana Pasal 43C ayat (1) sebagai proses berkesinambungan kepada kelompok rentan terpapar paham radikal terorisme. Terakhir, deradikalisasi tercantum pada Pasal 43D ayat (1).