Kontak tembak antara TNI-Polri dengan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) terjadi di Papua sejak April 2021, khususnya di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya. Sejumlah permasalahan utama dalam pemberantasan KKB berupa kondisi geografis dan medan yang sulit dijangkau. Rentetan aksi penyerangan yang tak surut itu terinisiasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPM-OPM), kelompok sayap gerakan separatis bersenjata di Papua. Bahkan, TPNPM-OPM menyatakan siap berperang dengan aparat. Dalam peristiwa di masa-masa tersebut, kedua belah pihak, baik KKB dan aparat, terus berjatuhan korban.
Akhirnya, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD, memaparkan keputusan bahwa KKB di Papua sebagai teroris. Keputusan yang menuai pro dan kontra ini diambil menyusul makin masifnya kekerasan di Papua dan tentu menyengsarakan masyarakat Papua.
Divisi Humas Polri menyebut bahwa pelabelan teroris kepada KKB di Papua telah melalui kajian mendalam di bawah tingkat Kemenko Polhukam. Untuk itu, Polri memastikan penetapan teroris tersebut tidak sembarangan disimpulkan begitu saja.
Di lain sisi, Wakil Koordinator Setara Institute memandang keputusan Pemerintah melabeli KKB di Papua sebagai teroris bakal mengundang tanda tanya dunia internasional. Akan ada beragam implikasi yang bakal timbul. Ditambah dengan pernyataan Anggota Komisi I DPR RI, Yan Permenas Mandenas, pelabelan tersebut tak akan menyelesaikan masalah mendasar di Papua.
Pemerintah diharapkan memiliki rencana jangka pendek, menengah, dan panjang yang tersusun secara matang untuk menghentikan aksi kekerasan oleh KKB ini. Pendekatan secara teritorial, komunikasi, rekonsiliasi, dan dialog dipandang menjadi kunci menyelesaikan permasalahan di Papua.
I Ngurah Suryawan, pemerhati Papua, menjelaskan seluk-beluk pandangan masyarakat Papua mengenai ‘Indonesia’. Berkaitan dengan penguasaan Pemerintah Indonesia atas tanah Papua ialah sejak pasca-Pepera tahun 1969.
Selama ini, masyarakat Papua merasa terdiskriminasi, baik secara geografis, budaya, hingga sejarah. Marginalisasi berlapis terhadap orang Papua, kegagalan pembangunan, perbedaan penafsiran sejarah, hingga kekerasan kemanusiaan.
Kejadian-kejadian tersebut merupakan beberapa contoh permasalahan yang hingga kini belum kunjung tuntas. Belum lagi berbagai kejadian represif yang menimpa masyarakat Papua. Hukum harus bersifat progresif dengan harus terintegrasi dengan politik, sosial, dan budaya.
Pada 19 Oktober 1961, telah dibentuk Komite Nasional Papua. Belanda memandu sekelompok orang Papua terdidik untuk menuju kemerdekaan. Akhirnya, lahirlah Dewan Nieuw Guinea dan pengibaran Bintang Kejora dan “Hai Tanahku Papua” pada 1 Desember 1961. Reaksi Pemerintah Indonesia saat itu ialah munculnya pencanangan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Utara Yogyakarta.
Permasalahan yang kala itu terjadi sangatlah kompleks. Tak hanya sekedar permasalahan politik, namun permasalahan ekonomi bisnis terselubung yakni, eksploitasi rahasia dengan Freeport. Kesepakatan rahasia dilakukan sebelum Pepera 1969. Semangat dekolonisasi internasional ini disponsori Amerika Serikat melalui perundingan Indonesia dengan Belanda di bawah pengawasan PBB.
Benar, akhirnya lahirlah New York Agreement yang menyatakan pengalihan kedaulatan Belanda atas West Nieuw Guinea kepada UNTEA. Selanjutnya, rakyat Papua diberi kebebasan untuk menentukan sikap dan kehidupannya sendiri. Bak duri dalam daging, Pemerintah Indonesia secara sah berkuasa di tanah Papua pasca-Pepera 1969 dengan hasil integrasi Papua ke Indonesia.
Hingga 2021, rakyat Papua nyatanya belum kunjung sejahtera. Menurut Dr. Beny Giay, orang Papua berpandangan menjadi bagian dari Republik Indonesia hanyalah transit sementara, bukan terminal akhir. Mereka menganggap orang Papua sudah seharusnya berkuasa atas tanahnya sendiri.
Guru Besar Hukum Pidana Unversitas Jember, Prof. M. Arief Amrullah, berpendapat mengenai persoalan Papua dari perspektif teori hukum. Akar masalahnya yakni efek marjinalisasi dan diskriminatif terhadap orang asli Papua sejak 1970. Alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.