Perkawinan adalah peristiwa yang penting dalam hidup seseorang. Karena, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami-istri untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebelum UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, berlaku Regeling op de Gemengde Huwelijken (GHR) Staatsblad 1898 No. 158. Pasal 7 dan Pasal 10 GHR menyatakan bahwa perkawinan dengan perbedaan agama, suku, dan lain-lain tidak menjadi penghalang dalam suatu perkawinan. Selain itu, perkawinan yang dilakukan di luar negeri atau di Indonesia adalah sah secara formal atau materil berdasarkan hukumnya masing-masing.
Namun, praktik berubah setelah keberlakuan UU Perkawinan. Pengertian perkawinan menjadi lebih sempit serta tidak mengatur perkawinan beda agama. Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Kenyataanya berbeda karena perkawinan beda agama masih dapat dilakukan dengan dasar hukum Pasal 66 UU Perkawinan jo Pasal 7 ayat (2) GHR. Terdapat kata-kata sejauh telah diatur oleh undang-undang ini (UU Perkawinan) yang tidak melarang perkawinan beda agama.
Semua agama tidak dapat mengesahkan perkawinan beda agama. Karena, setiap agama menginginkan umatnya menikah dengan yang seiman untuk menjaga kesucian agama tersebut. Banyak pasangan beda agama yang ketika menikah rela pindah agama menjadi agama pasangannya. Misalnya, seorang wanita non-muslim berpindah agama dan tunduk pada agama suaminya yang beragama Islam. Banyak juga pasangan berbeda agama tetap berada di agamanya masing-masing, meskipun sebetulnya dilarang oleh agama manapun.