Pada 19 Oktober 1961, telah dibentuk Komite Nasional Papua. Belanda memandu sekelompok orang Papua terdidik untuk menuju kemerdekaan. Akhirnya, lahirlah Dewan Nieuw Guinea dan pengibaran Bintang Kejora dan “Hai Tanahku Papua” pada 1 Desember 1961. Reaksi Pemerintah Indonesia saat itu ialah munculnya pencanangan Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Utara Yogyakarta.
Permasalahan yang kala itu terjadi sangatlah kompleks. Tak hanya sekedar permasalahan politik, namun permasalahan ekonomi bisnis terselubung yakni, eksploitasi rahasia dengan Freeport. Kesepakatan rahasia dilakukan sebelum Pepera 1969. Semangat dekolonisasi internasional ini disponsori Amerika Serikat melalui perundingan Indonesia dengan Belanda di bawah pengawasan PBB.
Benar, akhirnya lahirlah New York Agreement yang menyatakan pengalihan kedaulatan Belanda atas West Nieuw Guinea kepada UNTEA. Selanjutnya, rakyat Papua diberi kebebasan untuk menentukan sikap dan kehidupannya sendiri. Bak duri dalam daging, Pemerintah Indonesia secara sah berkuasa di tanah Papua pasca-Pepera 1969 dengan hasil integrasi Papua ke Indonesia.
Hingga 2021, rakyat Papua nyatanya belum kunjung sejahtera. Menurut Dr. Beny Giay, orang Papua berpandangan menjadi bagian dari Republik Indonesia hanyalah transit sementara, bukan terminal akhir. Mereka menganggap orang Papua sudah seharusnya berkuasa atas tanahnya sendiri.
Guru Besar Hukum Pidana Unversitas Jember, Prof. M. Arief Amrullah, berpendapat mengenai persoalan Papua dari perspektif teori hukum. Akar masalahnya yakni efek marjinalisasi dan diskriminatif terhadap orang asli Papua sejak 1970. Alternatif rekognisi perlu dikembangkan untuk pemberdayaan orang asli Papua.
Juga, kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi rakyat, serta kontradiksi sejarah dan konstruksi identitas politik antara Papua dan Jakarta, hingga pertanggungjawaban atas kekerasan Negara di masa lalu terhadap WNI di Papua masih minim.
Mendasarkan pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick, terkait permasalahan Papua, sudah seharusnya Pemerintah berfokus pada perbaikan dan refleksi tipe atau karakteristik hukum yang dianut di Indonesia. Pada konteks tersebut, teori hukum dari Philippe Nonet dan Philip Selznick menjadi relevan, yang mengklasifikasikan tiga dasar hukum yang berbeda dalam masyarakat yaitu. Ketiga dasar itu yaitu:
- hukum sebagai pelayan kekuasaan yang represif;
- hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu mengontrol kekuasaan represif; serta
- hukum hukum sebagai fasilitator terhadap berbagai respon terkait dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Demi menjadikan hukum lebih relevan dan lebih hidup, hukum harus terintegrasi dengan politik, sosial, dan budaya.
Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah, Ph.D. menjelaskan pendekatan perang dan senjata bukanlah penyelesaian masalah. Penetapan terorisme pada KKB Papua justru semakin memperkeruh suasana.