Pemilihan umum kepala daerah secara langsung di Indonesia merupakan realitas yang telah terjadi dan dilaksanakan sejak 2005. Pelaksanaan Pilkada langsung merupakan buah dari revisi undang-undang nomor 22/1999 tentang pemerintahan daerah yang kemudian direvisi dalam undang-undang nomor 32/2004. Secara singkat, pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan antitesa dari pelaksanaan pengisian jabatan yang dilakukan oleh DPRD berdasarkan UU Nomor 22/1999.
Dalam periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pernah juga dilahirkan UU Nomor 22/2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang memiliki semangat untuk mewujudkan penyelenggaraan Pemilukada yang dilaksanakan oleh DPRD. Di dalam rezim hukum ini, pemilihan langsung dianggap menuai banyak bagai macam permasalahan yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi. Namun di tahun yang sama, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian juga menerbitkan Perppu yang membatalkan undang-undang tersebut, yaitu Perppu nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur bupati dan walikota (Perppu Pilkada).
Meski terbitnya RUU Pilkada ketika itu merupakan inisiatif dari pemerintah, namun tetap tak menghentikan Presiden untuk menerbitkan Perppu yang kemudian membatalkannya. Perppu pilkada tersebut, kemudian menggantikan undang-undang nomor 22 tahun 2014, yang disahkan tepat di hari yang sama dengan diidamkannya uu 22/2014. Hal tersebut merupakan respon atas penolakan terhadap UU no 22/2014 yang banyak menggeliat di masyarakat ketika itu.
Setelah itu, pada tahun 2015 mulai diselenggarakan Pilkada serentak yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Pemberlakuan Pilkada serentak ini sebenarnya telah di desain pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014, sebelum kemudian dibatalkan oleh Perppu Nomor 1 Tahun 2014.
Pemerintah dan DPR RI menghasilkan kesepakatan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, Pilkada serentak dilaksanakan dalam 7 gelombang hingga akhir tahun 2027. Di dalam undang-undang nomor 8 tahun, tujuan dilaksanakannya Pilkada serentak adalah untuk memaksimalkan efektivitas dan efisiensi dana penyelenggaraan, yang diperkirakan dapat menghemat kurang lebih 7 triliun anggaran dana. Pilkada serentak juga diharapkan dapat mempererat relasi pemerintah pusat dengan daerah, dalam hal kesatuan visi dan misi serta program pembangunan.
Setiap undang-undang, pasti memiliki dasar dan tujuan yang ideal untuk dilaksanakan, begitu pula di dalam penerapan Pilkada serentak ini, yang secara garis besar memiliki tujuan mulia. Akan tetapi, terlepas dari berbagai macam tujuan yang ideal, setidaknya terdapat beberapa permasalahan yang telah diakibatkan dalam penerapan Pilkada serentak dewasa ini. Berdasarkan riset yang dipublikasikan oleh lembaga ilmu pengetahuan Indonesia (LIPI) beberapa permasalahan yang muncul akibat Pilkada serentak ialah:
Pertama, Pilkada yang sejatinya memiliki semangat untuk menumbuhkan demokrasi lokal, pada kenyataannya dengan pemberlakuan Pilkada serentak tidak mendongkrak keinginan masyarakat untuk memiliki calon kepala daerah secara rasional. Setidaknya, terdapat 9 calon Bupati, calon walikota, dan calon gubernur yang berstatus tersangka korupsi pada tahun 2018 sedang ditangani oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK).
Kedua, berkenaan dengan penyuburan demokrasi lokal melalui Pilkada, di dalam pergulatan isu lokal, seringkali masyarakat daerah tidak begitu mengerti isu apa yang perlu menjadi perhatian di wilayahnya, salah satu penyebabnya ialah sentralisasi pemberitaan media baik di media elektronik maupun cetak. Seringkali, isu politik lokal di berbagai daerah sangat kurang terjangkau oleh masyarakat, yang seharusnya menjadi isu penting di dalam konstelasi politik lokal melalui Pilkada.
Ketiga, koalisi partai politik lokal yang sangat sering bersifat transaksional, sehingga partai politik digiring untuk membangun koalisi yang berdasarkan kepentingan politik jangka pendek pasca pemilu legislatif (DPRD). kecenderungan partai politik untuk berkoalisi dengan koalisi yang berbasiskan kepentingan, dan elektabilitas, bukan ideologi membuat politik lokal di Indonesia banyak diwarnai dengan koalisi transaksional, hal ini banyak terjadi pada Pilkada serentak 2015 dan 2018.