Berangkat dari Perbedaan
Dalam suatu diskusi kecil bersama dengan kawan-kawan organisasi saya dikampus manakala saat itu sedang ada pengadaan fasilitas kampus yang ramah difabel, saya kemudian bertanya kepada kawan saya bagaimana sejatinya hukum memandang penyandang disabilitas atau difabel. Bagaimana tidak, difabel yang memiliki kerusakan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang dalam interaksinya dengan berbagai hambatan dapat merintangi partisipasi mereka dalam masyarakat secara penuh dan efektif berdasarkan pada asas kesetaraan (YLBHI, 2014:253), serta rentan akan diskriminasi terlebih ketika berhadapan dengan hukum. Tak disangka pertanyaan kecil ini membawa kami pada diskursus yang lebih dalam. Sehingga perlu kiranya saya sampaikan hasil diskusi ditambah penelusuran saya dari keresahan yang menyelimuti pikiran saya tersebut sebagai sebuah refleksi bersama.
Perlu saya tekankan diawal dalam memandang difabel, bahwa mereka mampu untuk melakukan hal yang orang normal lainnya lakukan namun dengan caranya yang berbeda. Untuk itu pemahaman tentang manusia dianugerahi HAM dengan melakukan perbedaan terhadap manusia lainnya (Nasution, 2014:184), haruslah disadari sebagai ikhtiar merespon kesetaraan dalam sistem hukum di Indonesia bagi difabel. Dari basis pemikiran ini setidaknya memastikan aturan yuridis yang responsif terhadap difabel lebih penting.
Hal ini dikarenakan aturan yuridis sangat mempengaruhi praktik kesetaraan hak bagi difabel dalam sistem hukum terutama peradilan di Indonesia. Adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum menjamin, perlu dikaji secara holistik dengan peraturan lainnya agar komitmen kesetaraan hak difabel dalam sistem hukum terutama peradilan di Indonesia dapat terpenuhi. Lebih lanjut, memahami hambatan dalam praktik sangatlah penting untuk memastikan pula pola pembenahan kedepan.
Memahami Hambatan
Saya menganalisa beberapa hambatan pada sistem hukum bagi difabel. Pertama, faktor aturan hukum sendiri, hal ini misal dapat dilihat dari pengertian saksi pada Pasal 1 Angka 26 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aturan inilah yang mendasari setidaknya keterangan korban/saksi penyandang disabilitas yang buta, tuli, maupun kedua-duanya bukan merupakan keterangan sebagai alat bukti yang sah.
Selain itu dalam Pasal 178 ayat (1) KUHAP bahwa hak khusus penyediaan penerjemah yang pandai bergaul dengannya diperuntukkan bagi disabilitas jenis tuna wicara (bisu) dan tuna rungu (tuli) yang tidak dapat menulis. Dalam aturan tersebut berarti mereka yang dapat menulis tidak disediakan akses penerjemah. Padahal aturan ini belum mengakomodir kebutuhan difabel jenis gangguan mental, tuna grahita, maupun tuna netra untuk mendapatkan penerjemah.
Kemudian dalam hal keperdataan terdapat diskriminasi bahwa difabel tidak bisa menjadi subjek hukum mandiri bahkan menjadi korban. Diantaranya difabel bisa tidak bisa menjadi hak waris atau tidak bisa menjadi subjek perjanjian dalam perbankan misalnya. Para penegak hukum biasanya akan mendasarkan pada Pasal 433 Buku I KUH Perdata. Terlebih perspektif pengaturan hukum acara khusus difabel belum ada yang tegas mengaturnya. Perlu dilakukan kajian ulang untuk membenahi norma yuridis yang menjamin kesetaraan hukum bagi difabel.