(1) Kebijakan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (4) meliputi:
- penyesuaian tarif Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap;
- perlakuan perpajakan dalam kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE);
- perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
- pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darrrrat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
(2) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Pada Pasal 4 ayat 2, dijelaskan bahwa Pemerintah sangat mengharapkan pajak dari perdagangan sistem elektronik atau kegiatan yang sifatnya virtual selama physical distancing. Hal ini dipastikan orang-orang yang bekerja dari rumah (work from home). Seperti yang dikabarkan sebelumnya bahwa Pemerintah akan memungut pajak digital bagi Zoom dan Netflix, hal ini dipastikan banyaknya yang mengakses aplikasi tersebut, jelas bahwa nilai valuasi bisnis mereka akan meningkat.
Bagaimana dengan Kesiapan Regulasi Pemerintah?
Sayangnya, belum adanya aturan yang jelas untuk usaha tersebut ditambah Zoom dan Netflix merupakan Subjek Pajak Luar Negeri dan tidak memiliki Badan Usaha Tetap (BUT) atau kantor fisik di Indonesia. Selanjutnya, bagaimana dengan aplikasi lain yang posisinya di dalam negeri dan potensi kenaikan akses dari masyarakat yang bekerja dirumah? Ini harus menjadi perhatian Pemerintah jika ingin mendapat penerimaan pajak dari aktivitas digital salah satunya transaksi online.
Menurut OECD dalam Forum on Tax Administration, 26 Maret 2020 menjelaskan bahwa opsi pemajakan dalam transaksi online dapat semakin luas dan meningkat antara segmen wajib pajak. Pemajakan yang dapat dilakukan dalam perdagangan secara elektronik adalah melalui Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh), ini potensi yang besar selama masa pandemic ini.
Sayangnya, Pemerintah Indonesia belum memiliki aturan khusus atau payung hukum pemajakan transaksi ini. Hal yang perlu menjadi pertimbangan atas penerapan ini adalah tantangan yang akan dihadapi apabila pajak dari transaski online sebagai bikidan kebijakan adalah mekanisme secara administratif pemajakannya. Dalam dokumen OECD Secretary General Tax Report to G20, lebih dari 50 yang telah menerapkan pajak digital seperti pengumpulan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Misalnya, di Uni Eropa dengan menerapkan pajak melalui transaksi online bisa mencapai lebih dari 5 miliar di akhir tahun 2019.
Bagaimana apabila pemajakan transaksi online diterapkan di Indonesia? Jika skalanya besar dan memiliki BUT yang jelas, terdaftar menjadi wajib pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Indonesia tidak menjadi masalah. Namun, apabila yang terjadi adalah konsumen sebagai pengguna aplikasi internet juga menjadi sasaran subjek pajak berikutnya selain penyedia jasa yang harus dipertimbangkan bagaimana langkah-langkah yang dapat diambil dan dikomunikasikan kepada para pembayar pajak dalam kondisi saat ini.
Apabila Pemerintah serius untuk menggali pajak dari perdagangan transaksi online dapat melihat dari nilai transaksi penjualan setiap hari, volume jumlah pengguna atas aplikasi tersebut, menyiapkan teknologi big data yang mampu memproses secara transpara dan berintegrasi antara wajib pajak dan Kantor Pajak, membuat perhitungan secara akurat kemudian dapat melakukan konten analisis dan alokasi akan pajak yang dapat dipungut dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).