Stasiun Televisi asal Korea Selatan, MBC pada Selasa (05/05/2020), memberitakan dugaan pelanggaraan Hak Asasi Manusia terhadap Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia pada kapal milik Tiongkok. Informasi tersebut didasarkan atas kiriman video amatir oleh salah seorang ABK yang diberikan kepada Pemerintah Korea Selatan dan media, ketika kapal Long Xing 605 dan Tian Yu 8 berlabuh di Busan, Korea Selatan. Pada video tersebut, terlihat pelarungan seorang ABK di laut lepas. Sebelumnya, terdapat pula dua orang ABK yang telah meninggal terlebih dahulu dan semuanya dibuang ke laut pada hari kematiannya.
Beredar Surat Pernyataan yang ditandatangani oleh awak kapal yang meninggal pada berita sebagaimana diberitahkan oleh MBC. Surat tersebut menjelaskan bahwa ABK yang meninggal, jenazahnya akan dikremasi, serta abunya akan dikirimkan kepada pihak keluarga. Akan tetapi, pernyataan tersebut berbanding terbalik ketika Senin (30/03/2020), jenazah inisial A (24 tahun) dibuang ke laut lepas. Ia bekerja di kapal Tiongkok selama lebih dari setahun dan menderita sakit selama hampir sebulan di kapal. Awak kapal yang mengetahui hal tersebut terkejut dan memberi kesaksian terhadap media MBC.
Menilik Perspektif ILO atas Pelarungan ABK
Proses pelarungan atau sea burial diatur pada International Labour Organization (ILO) Seafarer’s Service Regulation. Standar internasional ILO ini menetapkan persyaratan minimum untuk pekerjaan yang layak atas seluruh aspek pekerjaan seperti ketentuan kondisi kerja, jam kerja, upah, cuti, akomodasi, fasilitas, keselamatan kerja, perlindungan kesehatan, hingga perlindungan kesejahteraan dan jaminan sosial. Pada kasus tertentu, demi menjaga keselamatan dan kesehatan bersama, melarungkan jenazah yang meninggal karena penyakit menular atau karena kapal tidak memiliki fasilitas menyimpan jenazah, diperbolehkan.
Oleh karenanya, yang menjadi pertanyaan adalah apakah pelarungan ABK asal Indonesia dari kapal berbendera Tiongkok telah sesuai aturan yang berlaku? ILO Seafarer’s Service Regulation pada Pasal 30 menerapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk melarungkan jenazah ke laut yaitu:
- Kapal berlayar di perairan internasional;
- ABK telah meninggal lebih dari 24 jam atau kematiannya disebabkan penyakit menular dan jasad telah disterilkan;
- Kapal tidak mampu menyimpan jenazah karena alasan higienitas atau alasan lainnya; dan
- Sertifikat kematian telah dikeluarkan oleh dokter kapal (jika ada).
Dalam hal ini, jenazah A yang meninggal belum mencapai 1×24 jam telah dilarungkan ke laut dan diduga tanpa izin terhadap keluarga korban. Kenyataan ini menunjukkan bahwa nyawa ABK Indonesia seolah-olah tidak berharga.
Para ABK Dieksploitasi, Haknya Terancam
Aksi pelarungan ABK WNI di kapal berbendera Tiongkok ini memicu sorotan baru. Kejadian tersebut bukan hal baru dan pertama kali. Menjadi hal biasa yang sering terjadi di dunia perburuhan perikanan. Hal yang menjadi sorotan dan patut menjadi diskursus bersama ialah sejauh mana dan bagaimanakah pemenuhan hak-hak ABK selaku buruh nelayan. Pada kasus pelarungan ABK WNI yang viral diliput media asal Korea Selatan inilah, semakin membuka tabir kesengsaraan para ABK yang selama ini terbiarkan oleh pemerintah Indonesia.
Dari liputan wawancara MBC kepada ABK WNI di kapal Tiongkok dapat kita ambil kesimpulan bahwa gambaran pekerja di kapal laut tersebut penuh derita dan dapat dikatakan ‘perbudakan’ terselubung. Para pekerja harus bekerja selama hampir 18 jam sehari, dengan waktu istirahat hanya 6 jam. Di lain kasus, dilansir dari berbagai media nasional, banyak mantan ABK yang bekerja di kapal asing kerap kali mendapat perlakuan tidak mengenakkan. Para ABK tersebut harus bekerja seharian penuh tanpa istirahat, makan makanan yang kedaluwarsa, minum air laut yang difilter (bukan air mineral), hingga gaji yang tak sesuai kesepakatan, bahkan belum dibayarkan.
Kasus pelarungan ABK inisial A mengungkap dan menjelaskan sebuah kenyataan bahwa, para pekerja asal Indonesia yang bekerja kepada perusahaan asing, masih belum terpenuhi haknya secara tepat. Maraknya para ABK yang sakit hingga meninggal menunjukkan bahwa perusahaan pemilik kapal lalai dalam memastikan kondisi kerja berdasarkan asas kemanusiaan. Keseriusan pemerintah untuk memastikan terpenuhinya hak-hak para ABK dipertanyakan.
Regulasi dan Penegakan Hukum atas Hak Buruh Perikanan
Berkaitan dengan hak buruh perikanan, telah diatur melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia pada Usaha Perikanan. Sayang, penegakan hukum atas pelanggaran HAM para buruh perikanan masih minim. Buruknya koordinasi lintas instansi seperti antar kementerian terkait, memperparah kondisi buruh perikanan.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.