Fenomena ini sungguh ironis, bukan? Sebuah PR besar, tatkala orientasi pembangunan masih menitikberatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengesampingkan dampak ekologi.
Tetapi, sebagian masyarakat yang paham perhelatan politik negeri ini, mungkin tidak akan terkejut. Sebab, nasib alam memang tak terlepas dari imbas warna-warni politik kepentingan. Salah satunya dengan kemasan politik uang, yang kemudian melanggengkan praktek oligarkis. Pada gilirannya, ruh sustainable development hanya tinggal jargon.
Argumen ini senada dengan pernyataan Satria Unggul Wicaksana, Direktur Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) UM Surabaya. Dilansir dari laman geotimes.co.id, budaya politik uang menciptakan demokrasi elektoral yang tidak sehat, berpotensi menghasilkan pemimpin korup, mengabaikan hak dasar warga negara, dan menegasikan ghirah pembangunan berkelanjutan.
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa politik uang berbanding lurus dengan kokohnya dinding kuasa oligarki. Segala cara akan ditempuh untuk tujuan kepentingan dan materi, termasuk pelemahan pengawasan pada praktik-praktik antropogenik yang mengeksploitasi sumber daya alam, termasuk hutan.
Relevansi Instrumen Pengawasan Dampak Lingkungan
Sebenarnya, negara kita memiliki sebuah instrumen yang berfungsi untuk menganalisis dan mengevaluasi kegiatan antropogenik terhadap dampak lingkungan. Instrumen tersebut kita kenal dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Jain mendefinisikan AMDAL sebagai studi terhadap kemungkinan terjadinya perubahan dalam aspek sosial ekonomi, maupun karakteristik fisik lingkungan akibat suatu rencana kegiatan.
Secara tujuan, hakikat AMDAL masih menjadi instrumen monitoring dan evaluasi dampak lingkungan yang relevan diterapkan. Juga, didukung dengan pelibatan elemen pakar dan LSM dalam pengambilan keputusan penerbitan izin setelah AMDAL dikaji. Namun, fakta di lapangan masih menunjukkan tren kenaikan kerusakan lingkungan, seperti deforestasi hutan. Ini menegaskan pasti ada sebuah ketimpangan dalam sistem.
Ketimpangan sistem yang dimaksud akan membawa pada alur, dimana polusi berbentuk budaya politik uang ini memanglah koheren dengan fenomena degradasi lingkungan. Berpotensi mencipta disfungsi instrumen pengawasan yang seharusnya secara ghirah masih relevan digunakan dalam rangka upaya-upaya pemeliharaan lingkungan.