Menurut Chaplin (1999), kompetisi merupakan persaingan atau perjuangan yang dilakukan antara dua organisme atau beberapa kelompok tertentu untuk memperebutkan objek yang sama. Terjadinya suatu proses kompetisi ternyata sangat diperlukan dalam sebuah ekosistem untuk tetap menjaga stabilitas daya dukung lingkungan, seperti mengurangi terjadinya ledakan populasi di alam, dan seterusnya. Individu yang berhasil memenangkan kompetisi tentu merupakan individu yang survival karena ia telah berhasil melalui proses seleksi alam.
Begitu juga dalam kancah politik, proses kompetisi merupakan sesuatu yang tetap harus ada. Sehingga tidak lahir kader-kader politik instan atau karbitan dari rahim politik dinasti. Kita semua berharap bahwa calon terpilih merupakan calon yang benar-benar paham potilik dan memiliki kapasitas untuk menjadi seorang pemimpin. Bukan merupakan calon pemimpin yang sengaja dihadirkan dengan cara yang sangat dipaksakan untuk tetap melanggengkan kekuasaan politik dinastinya.
Saat ini, banyak orang yang menjabat dan tidak sesuai dengan bidang ilmunya. Sehingga, seorang pemimpin yang seharusnya dapat menghadirkan atau memberi solusi, justru menimbulkan permasalahan baru karena minimnya pengetahuan yang dia dimiliki pada bidang tersebut.
Politik Dinasti dan Praktik Eksploitasi SDA
Praktik politik dinasti ternyata memiliki peran dalam melanggengkan praktik-praktik eksploitasi terhadap Sumber Daya Alam (SDA). Pemanfaatan SDA saat ini bukan lagi dengan cara melakukan ekplorasi namun sudah masuk pada ranah eksploitasi.
Berdasarkan hasil penelitian Handoya (2018) yang diterbitkan pada Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, disebutkan bahwa sistem politik dinasti cenderung menyebabkan terjadinya krisis lingkungan, seperti melanggengkan kegiatan eksploitasi SDA secara berlebihan, terjadinya pembiaran terhadap pencemaran lingkungan yang berasal dari industri-industri besar, dan seterusnya.
Banyak kawasan penting yang memiliki potensi SDA melimpah diubah menjadi pusat akumulasi kapitalis seperti dilakukannya alih fungsi hutan sebagai lahan perkebunan, pertambangan, dan seterusnya. Hal tersebut dilakukan dengan mengesampingkan dampak yang akan ditimbulkan, seperti dampak ekonomi-sosial bagi masyarakat sekitar, tergerusnya budaya lokal, kerusakan lingkungan yang mengakibatkan terganggunya stabilitas ekosistem dan seterusnya.
Salah satu contohnya adalah kasus tambang emas tumpang pitu di Banyuwangi. Kegiatan pertambangan ini menimbulkan berbagai persoalan yang serius bagi keberlangsungan alam serta masyarakat sekitar.
Terjadinya peningkatan kadar polusi yang berasal dari aktifitas pertambangan emas di tumpang pitu, telah membuat tanah disekitarnya mengalami menurunan kesuburan hal tersebut mengancam masa depan petani sekitar. Tidak hanya itu saja pencemaran juga terjadi pada wilayah pesisir laut yang mengabibatkan hilangnya komponen pesisri seperti kerang, ikan serta biota laut lainnya yang menjadi sumber penghasilan bagi para nelayan disana.
Kegiatan pertambangan di tumpang pitu memang telah menyebabkan masalah krisis ekonomi, sosial dan ekologi yang begitu kompleks. Banyak masyarakat sumberagung yang berjuang melawan beroprasinya industri pertambangan disana namun sampai saat ini belum membuahkan hasil.
mantab, Boneka Politik