Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan Uni Eropa ini juga menambah problematika di Indonesia terkait produksi serta perdagangan kelapa sawit di saat pandemi Covid-19 ini. Dikutip dari warta ekonomi (13/08/2020) Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Pingkan Audrine Kosijungan, mengatakan bahwa kebijakan perdagangan bebas mampu berkontribusi pada upaya peningkatan kinerja ekspor Indonesia. Kinerja perdagangan Indonesia menurun cukup signifikan akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan data World Bank Global Economic Prospect 2020, perlambatan ekonomi akibat perang dagang dan pandemi Covid-19 telah mengakibatkan kontraksi hingga 13,4% untuk semester pertama tahun 2020. Salah satu hasil kebun yang diekspor Indonesia ialah Kelapa Sawit, sebagaimana dasar hukum untuk kegiatan ekspor ini ialah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 22/PMK.04/2019 tentang Ketentuan Ekspor Kelapa Sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya.
Produksi Indonesia pada tahun 2021 terlihat naik 1,8% dari tahun sebelumnya menjadi 48,3 juta ton. Harga sawit akan sedikit turun pada kuartal ketiga seiring pulihnya produksi dan situasi pandemi membaik. Meningkatnya secara global antara penemuan kasus baru varian Covid-19, telah mendorong banyak negara untuk menerapkan kembali tindakan lockdown dapat menyebabkan terulangnya penurunan permintaan pada tahun 2020. Produksi yang lebih baik dan permintaan yang lambat akan menyebabkan meningkatnya persediaan, yang dapat menekan harga.
Dalam hal ini pemerintah sebelumnya ditengah masa pandemi Covid-19 mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengalami kontroversial. Salah satu isi dari undang-undang tersebut mengacu pada proses perizinan pembukaan lahan sawit yang sudah terlanjur.
Mengacu pada pasal 110A angka (1) yang menyatakan, ketika suatu perusahaan atau petani sawit yang sudah terlanjur membangun perkebunan dikawasan hutan (dalam hal ini mayoritas kebun sawit) yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang namun belum memenuhi persyaratan dapat menyelesaikannya selama 3 tahun sejak UU Cipta kerja berlaku. Hal ini berdampak pada sektor perusahaan sawit ilegal yang belum memenuhi persyaratan yang hanya memiliki izin usaha saja, yang mana dapat dikatakan mendapat ‘pemutihan usaha’.
Kebijakan biodiesel B30 Indonesia dengan campuran minyak sawit 30% juga akan mengayunkan harga karena sangat penting untuk mengendalikan persediaan dari biofuel sawit yang menggelembung di tengah penurunan ekspor.
Berdasarkan data dari katadata.co luas kebun sawit di Indonesia ditahun 2019 mencapai sekitar 146.000 km² lebih luas 3 kali lipat lebih dari Negara Belanda yang luasnya hanya 41.543 km². Dilansir dari data idx channel (17/5/2021) Ekspor minyak sawit mentah Indonesia pada Januari 2021 mencapai 2,86 juta ton, jumlah ini lebih tinggi dibandingkan bulan Januari 2020 yang sebesar 2,39 juta ton. Namun ekspor Januari 2021 lebih rendah 7,7% jika dibanding dengan Desember 2020 yang sebesar 3,5 juta ton karena dampak dari kebijakan pelarangan impor CPO oleh Uni Eropa.
Pada umumnya, tantangan yang dihadapi oleh industri kelapa sawit berasal dari dalam negeri, seperti kebijakan moraturim pemerintah, ketidakpastian hukum, dan kurangnya riset. Satu-satunya hambatan industri kelapa sawit yang terbesar yaitu lemahnya daya saing industri tersebut untuk bersaing dengan produk sawit dari negara produsen lainnya. Sebagian besar CPO di Indonesia masih diproduksi dengan alat yang belum modern disertai dengan dengan infrastruktur seperti akses jalan yang tidak mendukung ke tempat produksi kelapa sawit.
Dalam kasus ini jelas bisnis terkait minyak kelapa sawit di Indonesia sangat terganggu dengan adanya kebijakan larangan ekspor yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia maupun Uni Eropa. Karena efek dari kebijakan ini berdampak pada hulu hingga hilir.
Dari berbagai kendala perdagangan bebas dibidang ekspor CPO diatas, perlu adanya penanganan serius dari Pemerintah dan Kementerian Perdagangan untuk segera mengoptimalkan business matching, showcase, dan pertukaran informasi. Lalu mencari berbagai upaya ekspor langsung ke pasar tujuan, seperti mengekspor CPO ke India misalnya atas dasar perjanjian ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA) yaitu Perjanjian perdagangan bebas ASEAN-India. Serta menguatkan konsolidasi nasional dan kerjasama internasional dalam meningkatkan kampanye positif sawit.
Uni Eropa dalam hal memberlakukan sebuah kebijakan ada baiknya untuk tidak memberlakukan kebijakan yang diskriminatif karena mungkin secara tidak disadari kebijakan diskriminatif mengenai ekspor-impor ini dapat menimbulkan efek yang sangat signifikan terhadap negara negara lainnya yang memang berhubungan dibidang ekonomi, selain itu juga dengan diberlakukan kebijakan RED II ini Uni Eropa juga dapat terlihat inkonsisten atau tidak konsisten dalam menjalani dan mengaplikasikan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) sebagai salah satu perjanjian internasional yang sudah ditandatangani dan disetujui oleh Uni Eropa sendiri.
Baca juga: