2) Natrional Treatment;
3) Tarif sebagai instrumen tunggal untuk proteksi;
4) Persaingan yang adil;
5) Restriksi kuantitatif;
6) Waiver dan pembatasan darurat atas impor.
Prinsip “Most Favored-nation” ini memuat suatu kebijakan perdagangan harus dilaksanakan atas dasar non-diskriminatif prinsip “mostfavoured-nation” (MFN) ada di pasal I GATT. Dalam prinsip ini semua negara anggota terikat untuk memberikan perlakuan yang sama pada negara lain dalam pelaksanaan maupun kebijakan impor dan ekspor serta yang menyangkut biaya-biaya lainnya. Perlakuan yang sama tersebut harus dijalankan dengan segera dan tanpa syarat (immediately and unconditionally) terhadap produk yang berasal atau yang ditujukan kepada semua anggota GATT.
Dapat disimpulkan bahwa dalam perdagangan internasional tidak dibenarkan adanya pembatasan yang terselubung dan persyaratan yang diskriminatif dari suatu negara. Secara singkat, semua negara harus diperlakukan atas dasar yang sama dan menikmati keuntungan dari suatu kebijaksanaan perdagangan.
Dampak pada Indonesia terkait Kebijakan Uni Eropa dalam Larangan Impor Crude Palm Oil (CPO)
Menurut penjelasan European Federation for Transport and Environment (T&E), lembaga studi kebijakan dan kampanye lingkungan di Eropa, setidaknya ada 5 alasan utama yang mendorong Uni Eropa menyetop konsumsi biodiesel sawit, yakni:
- emisi karbon biodiesel sawit tiga kali lebih besar dari energi fosil,
- sertifikasi perkebunan sawit tidak menjamin keberlanjutan,
- industri sawit dikelilingi banyak masalah sosial, dan
- industri sawit penyebab deforestasi terbesar.
Menurut Presiden Joko Widodo pada 11 Januari 2020, Uni Eropa memunculkan isu bahwa minyak kelapa sawit tidak ramah lingkungan, dikarenakan CPO (Crude Palm Oil) bisa lebih murah dari minyak bunga matahari.
Terdapat kendala yang cukup signifikan dalam ekspor sawit ke pasar eropa setelah diberlakukannya kebijakan yang dilakukan oleh Uni Eropa yaitu RED II.
Pertama, terdapat penghapusan insentif pajak produk biofuel dari kelapa sawit oleh Perancis karena adanya Undang-Undang Anggaran Pemerintah Perancis tahun 2019 dengan Letter of Intent nomor 2018-1317 dan secara resmi dipublikasikan berdasarkan JORF nomor 0302. Dalam peraturan tersebut telah ditetapkan bahwa minyak sawit tidak tergolong dalam kategori produk biofuel sehingga tidak mendapatkan fasilitas skema insentif pajak yang telah ditetapkan.
Kedua, terdapat isu kontaminan 3-MCPD Uni Eropa, otoritas keamanan makanan di Eropa atau European Food Safety Autority (EFSA) yang mengusulkan batas 3-MCPD Ester maksimal 2,5 ppm dan GE maksimal 1 ppm. Putusan ini yang berpotensi menghambat perdagangan minyak sawit Indonesia, sebab kandungan 3-MCPD minyak sawit Indonesia masih di atas 3 ppm.
Ketiga, adanya antisubsidi oleh otoritas Uni Eropa. Sebagaimana pada November 2019 Uni Eropa mengeluarkan definitive measure atas biodiesel Indonesia yang menerapkan provisional measures dengan besaran 8%-18%. Selain itu terdapat kebijakan dan labelling di Uni Eropa seperti Delhaize Supermarket di Belgia yang melabel selai cokelat bermereknya yakni “0% palm oil, 100% taste”. Ada juga Systeme U Supermarket di Perancis yang meluncurkan kampanye dengan slogan “no to palm oil” pada 2021.
Keempat, Carrefour yakni ritel makanan atau supermarket di Perancis sejak 2017 membatasi dan menghentikan penggunaan minyak sawit di dalam produk Carrefour.
Menurut penapat ahli ekonomi pertanian di Purdue University, Amerika Serikat (AS), Farzad Taheripour memperingatkan bahwa langkah-langkah global untuk mengurangi produksi CPO tidak hanya berpengaruh terhadap Indonesia dan Malaysia sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar, tapi juga akan mempengaruhi negara lain. Farzad Taheripour menegaskan lagi jika Malaysia dan Indonesia membiarkan Eropa menggunakan kebijakan perdagangan untuk mengurangi produksi minyak sawit, negara-negara itu akan dirugikan secara signifikan karena permintaan akan produk dan juga harganya akan menurun.