Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 secara eksplisit mengatur hak memperoleh pekerjaan yang layak. Tentunya, pekerjaan yang dimaksud adalah pekerjaan dengan upah yang pantas serta tidak mengesampingkan aspek-aspek kemanusiaan. Hukum ketenagakerjaan menjadi perbincangan yang erat kaitannya dengan perut seseorang (kelangsungan hidup seseorang). Secara tidak langsung, ketenagakerjaan akan bersentuhan langsung dengan sistem ketenagakerjaan, sistem pengupahan, sistem hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berikut kesejahteraan mereka.
Permasalahan yang banyak terjadi terkait dengan hukum ketenagakerjaan adalah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Pasal 1 ayat (25) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menjelaskan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Menurut Keputusan Menteri dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: Kep/78/Men/2001, pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat. Asri Wijayanti mendefinisikan PHK sebagai suatu keadaan di mana si buruh berhenti bekerja dari majikannya.
Pengaturan PHK sebenarnya merupakan wujud perlindungan terhadap tenaga kerja. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar pekerja/buruh dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun. Selain itu, pengaturan PHK bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha serta dalam rangka melindungi tenaga kerja beserta keluarganya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Oleh sebab itu, ketentuan hukum PHK menjadi bagian rumit, karena bersifat perdata atau publik ataupun dua-duanya.