Eksistensi kelompok LGBT telah ada sejak jaman dahulu, meskipun harus bersembunyi dibalik tirai heteronormativitas. Keberadaan mereka identik dengan pergantian waktu, yang dimulai dengan matahari yang terbit dari timur, siang, dan akhirnya menjelang malam. Dalam transisi siang dan malam terdapat satu waktu yang dinamakan sandyakala. Menggunakan analogi waktu, eksistensi kelompok minoritas LGBT ini tak ada beda dengan sandyakala, tidak terlampau gelap seperti malam, namun tetap dapat terlihat dengan jelas.
Rekam Jejak Kelompok LGBT di Indonesia
Ombak keberagaman seksualitas dan identitas gender di Indonesia telah lama muncul, yakni pada awal abad ke-20. Namun, baru pada tahun1960-an gerakan LGBT timbul ke permukaan dan terus berkembang hingga hari ini.
Menurut Dwi (2018), tidak diketahui pasti berapa jumlah orang yang terasosiasi memiliki orientasi selain dari heteroseksual, namun dapat diyakini bahwa jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun, melihat keberadaannya yang mudah ditemui meski terkadang harus bersembunyi di balik tirai heteronormativitas karena takut akan reaksi sosial yang buruk.
Keberadaan kelompok minoritas ini terkesan memiliki gerakan yang masif baik menyangkut propaganda ataupun advokasi mengenai kasus diskriminasi terhadap LGBT yang mana hal ini berpengaruh pada pertumbuhan kuantitas kelompok LGBT itu sendiri (Anderson 1983).
Berdasarkan data yang diperoleh dari diskusi nasional mengenai LGBT di Bali pada tahun 2013, advokasi LGBT di Indonesia dimulai pada akhir 1960 dengan dibentuknya Himpunan Wadam Djakarta (HIWAD) yang difasilitasi oleh gubernur Jakarta pada waktu itu, Ali Sadikin. Istilah wadam ini dijadikan sebutan untuk mereka yang sebelumnya dikenal sebagai banci atau bencong. Namun, pada tahun 1978 diganti menjadi waria (wanita pria) oleh Majelis Ulama Indonesia karena kata “adam” yang dinilai tidak pantas untuk laki-laki yang mengekspresikan dirinya seperti perempuan (Hidup Sebagai LGBT di Asia, 2013).
Dewasa ini pergerakan dan advokasi terus mengalir dengan munculnya organisasi-organisasi seperti Arus Pelangi, Gaya Nusantara, Ardhanary Institute, Institut Pelangi Perempuan, Our Voice, Violet Grey, HerLounge, Gaya Dewata, IGAMA, dan PLU Sehati yang aktif memperjuangkan identitas mereka dalam berbagai kesempatan dan momentum (Boellstorff, 2005).