Terhadap kompleksitas perubahan sosial dan peningkatan demografi Gen Z, perjanjian pranikah ini umumnya mengatur percampuran/pemisahan harta sebelum perkawinan atau selama perkawinan berlangsung. Tapi, perjanjian pranikah juga bisa berisi hal-hal lain selama tidak bertentangan dengan norma hukum maupun agama. Perjanjian pranikah telah diatur dalam Pasal 29 ayat (1) UU No. 1/1974 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.
Potensi Permasalahan dalam Perkawinan Gen Z
Berdasarkan hasil survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2020, sebanyak 48,59% perempuan di dalam negeri menikah pertama di usia 19-24 tahun. Usia tersebut tentu sudah memenuhi batasan usia perkawinan menurut UU No. 1/1974.
Namun dari laporan statistik Indonesia, pada 2021, perceraian di Indonesia mencapai 447.743 kasus, meningkat 53,50% dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 291.677 kasus. Perselisihan dan pertengkaran yang berulang kali menjadi faktor utama penyebab perceraian. Sementara itu, kasus perceraian lainnya dilatarbelakangi oleh alasan ekonomi, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, hingga poligami.
Pentingnya Perjanjian Pranikah
Praktik perjanjian pranikah belum cukup umum di Indonesia. Sebaliknya, masih banyak orang beranggapan bahwa perjanjian ini merupakan hal tabu. Mengapa demikian? Menurut sebagian orang, perjanjian ini dibuat bukan semata-mata karena ketulusan. Hanya segelintir masyarakat Indonesia yang menyadari pentingnya perjanjian pranikah secara tertulis di hadapan notaris.
Tujuan perjanjian pranikah ialah termasuk bagian dari orientasi untuk mencapai kebahagian anak. Masa depan anak dan kebahagian anak prioritas utama. Lebih lanjut, apabila salah satu pasangan melanggar perjanjian pranikah, pasangan menghilang secara sengaja maupun keluarga pasangan menggugat harta pasangan, masih terdapat perlindungan hukum untuk mengamankan harta masa depan di dalam perjanjian tersebut.