Etika sudah menjadi kata yang sering disebut dalam kehidupan manusia. Sering kali kita menemukan dalam suatu forum yang dipersoalkan yaitu tentang ucapan, sikap dan perilaku menyimpang, dan dapat dipastikan bahwa kata “Etika” akan menjadi bagian dari topik yang penting, yang akan memicu perdebatan, misalnya ketika membahas tentang perumusan kode etik. Sejak zaman Yunani Kuno, etika telah menjadi pusat perhatian. Selama ini etika masih menjadi topik penelitian yang menarik, bahkan dianggap semakin penting untuk dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari agar tidak hanya sekedar dibicarakan di akademik.
Dalam praktiknya, masih banyak ditemukan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh para pengemban profesi. Salah satunya aparat penegak hukum. Etika profesi hukum merupakan bagian tak terpisahkan dari pengendalian perilaku aparatur penegak hukum, sebagai wujud penegakan hukum yang baik dan adil. Untuk menjadi seorang penyelenggara profesional hukum yang unggul dan memenuhi tugas profesionalnya diperlukan sikap manusiawi, sikap keadilan, mampu melihat nilai-nilai objektif, perilaku jujur, kemampuan teknis dan kematangan etis.
UUD 1945 memberikan kekuasaan yang terikat secara hukum kepada Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial. Mahkamah Agung melakukan pengawasan internal terhadap badan peradilan dibawahnya. Sementara, fungsi pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Mahkamah Agung dapat memantau dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku serta teknis peradilan, administrasi, dan keuangan. Mahkamah Agung juga berwenang mengawasi aparat pengadilan selain hakim. Sedangkan, Komisi Yudisial hanya sebatas memantau dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH). Hal ini diatur di dalam Pasal 39 dan Pasal 40 UU Kekuasaan Kehakiman.
Pengawasan dilakukan untuk dapat mengetahui fakta-fakta yang ada sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan bagi MA-KY untuk menentukan kebijakan dan tindakan yang diperlukan menyangkut pelaksanaan tugas pengadilan, tingkah laku aparat pengadilan, dan kinerja pelayanan publik. Dalam praktiknya, MA dan KY menyelenggarakan Majelis Kehormatan Hakim (MKH) sebagai forum untuk mengadili dan memutus dugaan pelanggaran KEPPH oleh hakim.
Hingga tahun 2019, Mahkamah Agung telah menjatuhkan sanksi disipliner terhadap 179 orang aparatur peradilan, termasuk di dalamnya hakim serta hakim Ad Hoc. Hal tersebut diungkapkan Ketua MA Hatta Ali dalam Laporan Tahunan Mahkamah Agung RI Tahun 2019 yang diselenggarakan di JCC Senayan,Jakarta,Rabu(26/2/2020). Jumlah tersebut diperoleh bersumber pada pengaduan yang diterima. Jumlahnya mencapai 2.952 pengaduan. Sebanyak 1.956 pengaduan telah diproses serta 996 pengaduan masih dalam proses penyelesaian.
Tidak hanya itu, sebanyak 4 orang hakim dinyatakan bersalah dan mendapatkan tindakan disipliner berat. Hal tersebut diketahui setelah diadakan Persidangan Majelis Kehormatan Hakim oleh MA bersama Komisi Yudisial. Diketahui, pada 2019, KY telah merekomendasikan 130 hakim kepada MA untuk diberikan sanksi karena ternyata orang tersebut melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Namun, mahkamah agung hanya menindaklanjuti 10 rekomendasi tersebut.