Penyebaran virus Covid-19 yang sampai saat ini masih belum terselesaikan, Indonesia kembali menghadapi rintangan berupa aksi penyerangan dan pengeboman yang menimbulkan kerugian terhadap negara dan masyarakat sekitar. Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini kasus terorisme kembali mencuat dengan kejadian pengeboman Gereja di Makassar dan aksi penyerangan di Mabes Polri.
Menurut Pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, teroris adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal. Tindakan tersebut dilakukan dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain. Tindakan ini mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional.
Menyikapi berbagai peristiwa terorisme yang menimbulkan korban secara massal dan kerugian, maka kita perlu membaca kembali UU tersebut yang dalam pembentukkannya melewati proses dan langkah yang strategis selama setahun sebelum akhirnya disahkan menjadi undang-undang. Langkah strategis pemerintah pada saat itu ialah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu No. 1 Tahun 2002), lalu setahun kemudian Perpu ini disahkan menjadi undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang (UU No. 15 Tahun 2003).
Regulasi yang mengatur tindak pidana terorisme merupakan konsepsi dasar dalam penegakan hukum dan penanggulangan aksi terorisme. Seperti yang dikatakan Nuraeny dalam tulisannya yang menyebutkan bahwa sistem peradilan pidana merupakan sistem yang berjalan dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan. Sistem seperti ini dianggap berhasil bila pelaporan dan keluhan dari masyarakat yang menjadi korban kejahatan diselesaikan dengan cara pengajuan pelaku ke meja hijau dan pelaku tersebut dinyatakan bersalah lalu dijatuhkan hukuman (Nuraeny 2011: 84).
Penegakan hukum dapat dipahami sebagai kegiatan dengan cara melakukan formulasi, aplikasi/yudikasi dan eksekusi yang mana ketiga tahapan ini merupakan bagian dari kebijakan hukum. Dalam tahap formulasi dilaksanakan oleh institusi pembuat undang-undang, pada tahap aplikasi dilaksanakan oleh aparat penegak hukum seperti polisi, jaksa, hakim dan petugas lembaga kemasyarakatan, serta dalam tahap eksekusi dilaksanakan oleh aparat pelaksana pidana (Nuraeny 2011: 85).