Dilain sisi jika kembali mengacu pada rumusan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor, pembuktian gratifikasi seks bisa sulit. Jika nilai gratifikasi 10 juta atau lebih dibuktikan oleh penerima gratifikasi, dan jika di bawah 10 juta rupiah dibuktikan oleh penuntut umum. Bagaimana mengukur nilai gratifikasi seks?
Hal lain yang patut diperhatikan adalah tentang waktu dan pelaporan. Penerima gratifikasi harus melaporkan apa yang ia terima dalam waktu tertentu (30 hari). Kalau tidak melapor, ia bisa dipidana. Kalau penerima jasa layanan seks melapor dalam jangka waktu itu, KPK akan menentukan status gratifikasi itu paling lambat 30 hari kemudian. Pasal 12C ayat (3) UU Pemberantasan Tipikor memberi dua opsi kepada KPK: menyatakan gratifikasi itu milik penerima atau milik negara. Apakah mungkin disebut jasa layanan seks atau orang yang memberi layanan seks itu milik penerima layanan?
Dari 3 pokok pembahasan diatas sudah semestinya adanya perbaikan pada Hukum materiil yakni Undang-undang Korupsi untuk kemudian lebih mengakomodir persoalan gratifikasi seksual. Mengingat kian hari modus kejahatan berkembang sehingga dibutuhkan pula produk hukum progresif guna terwujudnya system penegakan peradilan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Baca juga:
- Kesesatan Berpikir Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
- Pentingnya Pendidikan Hukum Sejak Usia Dini
- Sodomi dan Pengaturannya dalam KUHP Baru
- Pelecehan Seksual Cat Calling: Bagaimana Hukum Mengaturnya?
- Lemahnya Payung Hukum Soal Data Pribadi di Akun Cantik-Ganteng
- Menyusuri Setapak Jalan Akun (Kampus) Mahasiswa Cantik-Ganteng
- Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Perspektif HAM
- Pemidanaan Gratifikasi Seksual
- Mengulik Pelecehan Seksual oleh ‘Oknum’ Akademisi
- Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Eksploitasi Seksual