Hal tersebut dinilai sesuai karena pada dasarnya menikah secara siri memiliki pengertian bahwa melakukan pernikahan yang sah dimata agama tetapi tidak sah dimata hukum karena pernikahan siri tidak terdaftar dalam Kantor Urusan Agama sebagaimana merupakan lembaga negara yang mengurus masalah pencatatan nikah dan rujuk masyarakat. Dengan kata lain bahwa hakim SS tersebut telah melakukan tindakan yang melanggar hukum atau tidak sesuai dimata hukum yang berlaku di Indonesia. Tindakan menikah siri juga tidak sesuai dengan kultur budaya kehidupan masyarakat dimana menikah siri masih dianggap tabu dan rentan menimbulkan konotasi negatif terhadap seseorang yang melakukan pernikahan secara siri terlebih jika pada saat yang bersamaan juga telah memiliki pasangan yang sah secara agama dan hukum.
Seorang hakim juga disebut sebagai wakil Tuhan di dunia, sehingga hakim juga dapat menjadi pedoman bagi masyarakat mengenai bagaimana cara bertindak atau berperilaku. Atas dasar tersebut lah seorang hakim tidak boleh sedikitpun melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan kaidah norma yang hidup di masyarakat atau bahkan melakukan tindak pidana yang dapat menimbulkan sanksi yang lebih berat. Karena hanya dengan sikap tindak atau perilaku yang berbudi pekerti luhur itulah yang membuat kehormatan dan keluhuran martabat hakim dapat senantiasa dijaga dan ditegakkan.
Segala unsur perilaku seorang hakim harus sesuai dengan kode etik profesi hakim sebagaimana yang pasti telah diketahui oleh hakim di seluruh Indonesia. Kode etik ini tidak hanya mengatur batas-batas etika hakim dalam menghadapi suatu perkara di dalam ruang sidang, akan tetapi juga mengatur perilaku hakim di luar ruang persidangan baik yang berkaitan dengan perkara yang sedang ditangani maupun tidak. Hal ini semata-mata bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat hakim sekaligus untuk menjaga rasa percaya masyarakat terhadap proses peradilan di Indonesia.