Persoalan Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri merupakan persoalan yang berkaitan dengan hak asasi untuk mempertahankan hidup dan hak untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Hak-hak TKI/TKW memang harus dilindungi, dan yang bertanggunga jawab negara dalam kerangka pendekatan berbasis hak asasi manusia bisa dilihat dalam tiga bentuk.
Indonesia telah meratifikasi instrumen HAM Internasional seperti Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (ICCPR) dan Kovenan Internasional tentang hak-hak ekoonomi, sosial, dan budaya (ICESCR) melalui Undang-Undang Nomor 11 dan 12 Tahun 2005, dengan demikian negara akan memiliki kewajiban dan bertanggung jawab untuk mendukung dan melaksanakan setiap pemajuan HAM, baik di tingkat nasional maupun internasional, tidak terkecuali dalam proses pembangunan.
Pelanggaran HAM oleh negara/pemerintah dapat terjadi apabila negara tidak menghormati hak-hak manusia dan melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan dengan Kovenan melalui campr tangannya (violation by action), sehingga negara juga dianggap melanggar HAM bila tidak mengambil tindakan hukum apapun terhadap para pelaku yang merupakan aparatur negara atau membiarkan bebas tanpa dikenai hukuman apapun (impunity). Seharusnya negara aktif untuk melindungi dan memenuhi hak-hak individu, dan apabila negara lalai, tidak bertindak untuk menjamin dan melindungi HAM warganya maka negara dapat dikatakan telah melakukan pembiaran dan hal ini juga masuk dalam kategori pelanggaran HAM (violation by omission).
Banyak masalah yang muncul pada TKW Indonesia di luar negeri khususnya di Malaysia. Para TKW diperlakukan tidak manusiawi oleh majikannya dan sulit untuk dilupakan oleh para TKW Indonesia. Ada beberapa pelanggaran HAM yang terjadi sebagai berikut:
- Sejak tahun 2005 lalu, kekerasan terhadap TKI di Malaysia yang mencapai 173 kasus dan hanya 9 majikan yang kasusnya diajukan ke pengadilan setempat.
- Harian The Star Kuala Lumpur mengungkapkan, tahun 2005 ada 39 kasus kekerasan terhadap TKI, 2006 meningkat menjadi 45 kasus, 2007 terjadi 39 kasus, 2008 naik lagi menjadi 42 kasus, dan 2009 sudah terjadi 9 kasus termasuk Modesta Rengga Kaka (27), asal Kupang, NTT.
- Kasus kekerasan seksual terhadap pembantu berumur 25-35 tahun dan kekerasan fisik yang dilakukan oleh majikan perempuan, anak-anak, dan agen TKI.
- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton telah merilis adanya 143 negara di dunia yang melakukakan pelanggaran berat tentang hak-hak buruh migran.
Tidak dibayar gaji dan dianiaya oleh majikan merupakan masalah yang krusial dalam penyelesaiannya karena menyangkut hubungan antarnegara. Adanya kejadian tersebut mengakibatkan diharmonisan dengan negara yang terkait. Masalah ini juga merupakan penghinaan harkat dan martabat keluarga dan bangsa Indonesia sendiri. TKW merupakan pahlawan devisa yang sangat mebantu pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan bangsa dan pengangguran, tetapi dalam kondisi ini mereka mendapat perlakuan yang tidak manusiawi.
Dalam hal perlindungan TKI, sudah diatur dalam perundang-undangan nasional antara lain; UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28D ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja, dan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
Pasal 8 menyatakan bahwa setiap calon TKI mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk bekerja di luar negeri; memperoleh informsi yang benar mengenai pasar kerja luar negeri dan prosedur TKI di luar negeri; memperoleh pelayanan dan perlakuan yang sama dan penempatan di luar negeri; memperolrh kebebasan menganut agama dan keyakinannya serta kesempatan untuk menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya; memperoleh upah sesuai dengan standar upah yang berlaku di negara tujuan; memperoleh hak, kesempatan dan perlakuan yang sama yang diperoleh tenaga kerja asing lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan di negara tujuan; memperoleh jaminan perlindungan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan atas tindakan yang dapat merendahkan harkat dan martabatnya serta pelanggaran atas hak-hak yang ditetapkan sesuai dengan perundang-undangan selama penempatan di luar negeri; memperoleh jaminan perlindungan keselamatan dan keamanan kepulangan TKI Ke tempat asal; memperoleh naskah perjanjian kerja yang asli.
Dalam pelaksanaan penempatan TKW ke luar negeri ada beberapa hambatan yaitu terdapat dualisme dalam pelaksanaan tugas penempatan TKW antara Dinas Tenaga Kerja dan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BP3TKI). Adanya dualisme karena Dinas Tenaga Kerja menjalankan tugasnya berdasarkan otonomi daerah di Provisi Sumatra Utara sedangkan BP3TKI mempunyai kewenangan sesuai aturan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) tingkat pusat. Oleh sebab itu, BP3TKI Provinsi Sumatra Utara merupakan wakil dari BNP2TKI.
Selama ini BP3TKI melakukan perlindungan TKW yang diberangkatkan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga apabila menemui masalah di luar negeri dapat terpantau. Namun BP3TKI tidak dapat melakukan perlindungan terhadap TKW yang diberangkatkan tidak sesuai dengan prosedur atau memberangkatkan tidak melalui jalur resmi dikarenakan kelengkapan dokumen, jumlah orang yang diberangkatkan tidak terpantau, dan jalur yang dipakai untuk pengiriman TKW. Pelaksanaan tugas Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sumatra Utara dan BP3TKI didasari oleh Peraturan Daerah Provinsi Sumatra Utara No.6 Tahun 2006 tentang perdagangan manusia.
Permasalahan yang banyak terjadi di negara Malaysia berdasarkan laporan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dengan memproses pemulangan para TKI/TKW ke Indonesia disebabkan karena lari. Banyak faktor yang menyebabkan mereka lari diantaranya karena gaji kurang sesuai, jam kerja tidak tentu (tidak ada hari libur), TKI/TKW berangkat ke negara Malaysia yang tidak sesuai prosedur dan dicari oleh aparat penegak hukum Malaysia dan masalah pelanggaran HAM lainnya.
Jadi, dari permasalahan tersebut berasal dari perekrutan oleh para calo/PL dari PPTKIS yang ingin mencari keuntungan sendiri, serta banyaknya pihak yang terlibat dalam penempatan TKW, sehingga dapat menimbulkan pengiriman TKW yang ilegal. Penempatan TKW pun mengalami permasalahan karena ulah dari pengguna jasa (majikan) dan diperparah dengan ketidakmampuan TKW membela diri di hadapan majikan tersebut.
Perlindungan TKW yang dilakukan pemerintah dapat dirasakan dengan adanya beberapa peraturan ketenagakerjaan beserta perlindungannya, dan bantuan hukum oleh Perwakilan RI. Merupakan langkah yang baik bahwasanya perlindungan terhadap warga negara Indonesia di luar negeri, khususnya tenaga kerja Indonseia telah menjadi bagian dari kebijakan luar negeri Indonesia tahun 2010. Pada masa penempatan banyak hambatan bahwa tempat TKW bekerja tidak memperdulikan hak-hak TKW. Dan dikarenakan tidak adanya pengaturan perlindungan bagi tenaga kerja informal, maka peraturan yang dipakai adalah peraturan pengguna jasa (majikan), dan ini akan mengakibatkan kesewenang-wenangan majikan.
Contoh lainnya adalah belum diaksesnya Konvensi Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan anggota keluarganya 1990 oleh beberapa negara penerima dan pengirim buruh migran seperti Malaysia dan Indonesia. Akan tidak seimbang apabila konvensi tersebut hanya diaksesi oleh pemerintah Indonesia sebagai negara pengirim buruh migran, namun perlu diimbangi dengan aksesi oleh negara-negara penerima buruh migran lainnya. Dengan demikian praktik perlindungan hak-hak TKW baik pra penempatan maupun masa penempatan cenderung belum memberikan hasil yang maksimal.