Selama puluhan tahun, Surat Edaran menjadi bagian dari kebijakan sejumlah lembaga negara. Daya ikat, kedudukan, dan mekanisme pengujiannya masih menjadi perdebatan. Tidak jarang kita mendengar “Menurut Surat edaran Menteri ……” yang menjadi dasar hukum suatu tindakan petugas aparat Negara dalam menjalan suatu kebijakan. Masyarakat awam seringkali dibuat dilema, atas seberapa mengikat Surat Edaran yang dikeluarkan lembaga Negara. Mengingat dalam Pasal 7 dan Pasal 8 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Surat Edaran tidak dibunyikan dengan eksplisit dalam pasal-pasal tersebut terkait kedudukanya.
Selama ini Surat-surat edaran selalu dikategorikan sebagai contoh peraturan kebijakan. Ditambah Surat Edaran sebagai produk hukum yang isinya secara materil mengikat umum namun bukanlah peraturan perundang-undangan karena ketiadaan wewenang pembentuknya untuk membentuknya sebagai peraturan perundang-undangan.
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) juga punya pandangan serupa. Lembaga pemerhati hukum ini berpendapat Surat Edaran – dalam konteks ini SEMA—bukan produk perundang-undangan, melainkan sebagai instrumen administratif yang bersifat internal. Surat Edaran ditujukan untuk memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai suatu norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum.
Jika SE bukan peraturan perundang-undangan, lantas bagaimana menguji keabsahannya? Jika bukan keputusan, berarti SE tak bisa digugat ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) juga. Praktik selama ini, SE yang tak sesuai dicabut sendiri oleh instansi yang mengeluarkan.
Untuk menjawab pertanyaan ini , dapat diperhatikan dalam Pasal 24A UUD 1945. Pasal ini menegaskan MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Dengan rumusan itu berarti MA berwenang menguji semua jenis peraturan perundang-undangan yang tingkatannya di bawah Undang-Undang, misalnya Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dan Peraturan Daerah. Tapi bagaimana dengan Surat Edaran?
Jika diizinkan untuk mengasumsikan SE bukan peraturan perundang-undangan, maka MA tak bisa mengujinya terhadap Undang-Undang. Sebaliknya, jika SE termasuk kategori peraturan perundang-undangan, maka MA berwenang melakukan pengujian. Ini juga berarti SEMA bisa diuji ke Mahkamah Agung. Pertanyaan tentang boleh tidaknya MA menguji SE terjawab lewat putusan MA No. 23P/HUM/2009. Dalam putusan ini MA membatalkan SE Dirjen Minerba dan Panas Bumi No. 03.E/31/DJB/2009 tentang Perizinan Pertambangan Mineral dan Batubara Sebelum Terbitnya Perppu No. 4 Tahun 2009.
Pertimbangan majelis hakim agung dalam perkara ini: walaupun SE tidak termasuk dalam urutan peraturan perundang-undangan, tetapi berdasarkan penjelasan Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004, SE dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sah. Sehingga hal tersebut tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan. Pertimbangan yang hampir sama bisa dibaca dalam putusan MA No. 3P/HUM/2010. Di sini, ada surat biasa yang menurut majelis hakim berisi peraturan, sehingga layak menjadi objek permohonan hak uji materiil sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2004.
Putusan MA ini menegaskan SE bisa dimohonkan uji materiil ke Mahkamah Agung.
Memang ada preseden, Mahkamah Konstitusi menguji Undang-Undang yang menyangkut dirinya sendiri. Bahkan membatalkan Undang-Undang yang membatasi kewenangannya. Merujuk pada preseden ini, pengujian SEMA di Mahkamah Agung boleh-boleh saja.
Mengingat kegamangan ini, menjadi bijaksana jika setiap Surat Edaran tetap harus tunduk pada asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Surat Edaran harus menaati asas pembentukan peraturan kebijakan yang baik . Peraturan kebijakan yang secara tidak langsung mengikat publik akan menimbulkan masalah jika pembentukannya tidak memenuhi asas pembentukan peraturan perundang-undanganyang semestinya baik formil maupun materil. Surat Edaran berpotensi menjadi masalah dalam sistem peraturan perundang-undangan.