Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan kewajiban dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuan-ketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang oleh seluruh kelompok tersebut. Ditinjau dari Keputusan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, tentang kode etik Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Ketua KPK RI menimbang bahwa kewenangan yang luar biasa dari Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) dapat menjadi peluang untuk terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin KPK.
Untuk mencegah dan menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang, perlu ditetapkan Kode Etik Pimpinan Komisi Pemberatasan Korupsi yang segera dapat disampaikan kepada masyarakat untuk mendapatkan tanggapan dan masukan. Pimpinan KPK diharuskan menganut nilai-nilai dasar pribadi yang terbuka; kebersamaan (melaksanakan tugas memimpin KPK secara kolektif); berani mengambil sikap tegas dan rasional dalam membuat keputusan sulit dan atau tidak populis demi kepentingan jangka panjang KPK dan Negara; integritas (mewujudkan perilaku yang bermartabat); tangguh, tegar dalam menghadapi berbagai godaan, hambatan, tantangan, ancaman, dan intimidasi dalam bentuk apapun, dan dari pihak manapun, unggul, selalu meningkatkan pengetahuan dan kapasitas pribadinya.
Pembahasan
Ketua KPK Firli Bahuri dinyatakan telah melanggar kode etik mengenai gaya hidup mewah oleh Dewan Pengawas KPK pada Kamis (24/9/2020 lantaran telah mengendarai helikopter mewah untuk perjalanan pribadinya pulang pergi Jakarta – Baturaja, Sumatera Selatan. Pada tanggal 20 Juni 2020 lalu. Firli pergi bersama dengan istri dan anaknya, menurut keterangannya, ia menggunakan helikopter tersebut saat ingin berziarah ke makam orang tua di Baturaja. Menurutnya, menggunakan helikopter mewah karena ia ingin segera mengikuti rapat di Kementrian Politik, Hukum, dan HAM (Polkuham) pada hari senin, 22 Juni 2020.
Menurut informasi, helikopter itu disewa Rp 7 juta per jam, orang yang mengatur penyewaannya adalah ajudan Firli. Lemahnya peran Dewan Pengawas KPK dalam mengawasi etika pimpinan dan pegawai KPK. Dalam kasus ini, semestinya Dewas dapat mendalami kemungkinan adanya potensi tindak pidana suap atau gratifikasi. Namun, Dewas menyatakan tidak menemukan adanya dugaan penerimaan gratifikasi dari helikopter yang digunakan ketua KPK saat perjalanan di Baturaja, Palembang hingga tiba di Jakarta. Dewas tidak menemukan bukti pertemuan antara Firli dengan seseorang dari pihak penyedia jasa penerbangan. Pihak penyedia pun sudah memberikan keterangan yang jelas bahwa semua itu tidak ada pemberian atau fasilitas yang diberikan termasuk diskon.
Tindakan ini sudah jelas bertentangan dengan nilai integritas sebagaimana yang diatur dalam kode etik KPK. Dimana dalam aturan tersebut tertera bahwa setiap pegawai atau pemimpin sekali pun dilarang memperlihatkan gaya hidup serba mewah. “KPK itu berbeda dengan lembaga lainnya, karena selama ini KPK menjunjung tinggi integritas yang setiap harinya mengampanyekan dengan hidup sederhana.” Kata Zaenur Rohman.