Memasuki masa penjajahan Jepang pada 2 Maret 1942, berdasarkan Osamu Gunrei No. 2 tahun 1942, dibentuklah Gunritukaigi (peradilan militer) guna mengadili perkara-perkara pelanggaran undang-undang militer Jepang. Pengadilan militer ini berkewajiban untuk mengadili perbuatan-perbuatan yang bersifat mengganggu, menghalang-halangi dan melawan balatentara Jepang dengan pidana terberat hukuman mati. Di era awal kemerdekaan sendiri Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya Undag-undang Nomor 7 Tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara.
Adapun dalam buku karangan Soegiri S.H yang berjudul 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, setidaknya terdapat beberapa alasan Peradilan:
- Diperkenankannya mempergunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya.
- Diperlukannya dan kemudian diperlakukannya terhadap mereka aturan-aturan dan norma-norma hukum yang keras, berat dan khas serta didukung oleh sanksi-sanksi pidana yang berat pula sebagai sarana pengawasan dan pengendalian terhadap setiap anggota militer agar bersikap dan bertindak serta bertingkah laku sesuai dengan apa yang dituntut oleh tugas pokok.
- Diperlukannya organisasi yang istimewa dan pemeliharaan serta pendidikan yang khusus berkenan dengan tugas pokok mereka yang penting dan berat.
- Adanya tugas pokok yang berat untuk melindungi, membela dan mempertahankan integritas serta kedaulatan bangsa dan negara yang jika perlu dilakukan dengan kekuatan senjata dan cara berperang.
Kedudukan Peradilan Pidana Militer
Sebagai bagian dari peraturan kehakiman di Indonesia, peradilan militer memiliki ruang lingkup dan ketentuan tersendiri terkait dengan bagaimana penerapan pasal demi pasal yang termuat dalam KUHPM. Di dalam produk hukum nasional, keberlakuan peradilan militer dijelaskan pada Pasal 24 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang selengkapnya berbunyi:
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Atas dasar keberlakuan Undang-Undang ini menjadi penjelas bahwasanya Peradilan Militer berada dibawah naungan Makamah Agung dan eksistensinya diakui secara sah oleh negara.
Selanjutnya, susunan dan kekuasaaan termasuk pengkhususannya diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (UU Peradilan Militer) dilaksanakan sebagai berikut:
1. Pengadilan Militer
Pengadilan Militer merupakan Pengadilan pada tingkatan Kapten ke bawah Pengadilan ini adalah salah satu bagian daripada macam pengadilan militer yang memiliki tugas sebagai pemeriksa dan memutus perkara pidana serta sengketa Tata Usaha Militer pada tingkat pertama. Tugas ini diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 Pasal 40, yakni hanya untuk prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah saja. Pengadilan militer ayang dikenal dengan Dilmil ini tersedia di berbagai provinsi di Indonesia.
2. Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Tinggi biasa disebut dengan Dilmilti. Pengadilan Militer Tinggi adalah pengadilan yang memiliki tugas untuk memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Militer sebagaimana yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 1997 Pasal 41, yaitu bagi prajurit dengan pangkat Mayor keatas. Kewenangan yang dimiliki oleh Pengadilan Militer Tinggi adalah dapat memeriksa dan memutuskan pada tingkat banding perkara pidana, yang mana artinya apabila suatu perkara pidana sudah diputuskan pada daerah hukumnya, tetapi dapat dimintai banding pada Pengadilan Militer yang lebih tinggi ini.
3. Pengadilan Militer Utama
Pengadilan Militer Utama adalah Pengadilan yang berwenang memeriksa serta memutuskan pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Militer yang terlebih dahulu telah diputuskan sebelumnya oleh Pengadilan Militer Tinggi. Pengadilan Militer Utama ini dapat pula memutuskan perkara pada tingkat akhir dan mengurusi perkara perbedaan yang terjadi antara Perwira Penyerah Perkawa dan Oditur mengenai pengajuan perkara pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer Indonesia.4. Pengadilan Militer Pertempuran
Merupakan kekuasaan federatif kehakiman yang bertugas untuk memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir suatu perkara yang dilakukan oleh prajurit di suatu medan pertempuran.