Pelecehan seksual adalah segala perilaku pendekatan terkait dengan seks yang tidak diinginkan, termasuk permintaan untuk melakukan seks, dan perilaku lain secara verbal maupun fisik yang merujuk pada seks. Pelecehan seksual dapat terjadi dimana saja baik di tempat umum seperti bis, pasar, sekolah, rel kereta, mall, maupun tempat pribadi seperti rumah. Pelecehan seksual bukan hanya dilakukan oleh orang lain, namun juga bisa dilakukan oleh keluarga sendiri, maka dari itu tidak menutup kemungkinan terjadi banyaknya kasus pelecehan yang belum terungkap.
Pelecehan seksual tidak hanya merujuk pada satu gender, melainkan dapat terjadi pada wanita maupun pria, anak-anak pun tidak luput dari korban maupun pelaku pelecehan seksual. Bahkan para akademisi yang jelas-jelas memiliki pendidikan yang tinggi dan pengetahuan yang lebih luas dapat menjadi korban pelecehan seksual atau bahkan menjadi pelaku pelecehan seksual itu sendiri. Banyaknya kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh akademisi menggerakkan saya untuk mengulik lebih dalam mengenai kasus-kasus yang telah terjadi.
Kasus pelecehan seksual yang dialami mahasiswi oleh dosen banyak menyorot perhatian. Pasalnya hal tersebut dinilai sangat tidak etis dan tidak bermoral dilakukan oleh seorang dosen yang jelas memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Semestinya seorang dosen lebih paham terkait hak asasi manusia yang bersangkutan dengan pelecehan seksual tersebut. Dengan ini dapat dilihat bahwa latar belakang pendidikan yang tinggi tidak menentukan cerminan perilaku yang bermoral dan bermartabat dari seseorang.
Dikutip dalam KOMPAS.com, ‘Seorang mahasiswi Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat, dilecehkan dosen Fakultas Hukum saat ia melakukan bimbingan skripsi. Pelecehan terjadi di salah satu ruangan di Fakultas Hukum pada 24 Juni 2020’. Namun, dalam kasus ini pihak korban hanya melaporkan kasus tersebut kepada pihak kampus, sehingga kasus pelecehan tersebut di tangani oleh komisi etik. Alasan korban tidak melaporkannya kepada pihak berwajib dikarenakan takut identitasnya tersebar.
Dilihat dari kasus ini saja, sudah memperlihatkan adanya ketakutan korban dalam melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya dan hal tersebut sangat disayangkan. Sehingga oknum dosen yang menjadi pelaku pelecehan tersebut hanya mendapatkan sanksi diskors selama lima tahun atau 10 semester, serta dicopot jabatannya sebagai sekretaris bagian pidana di Fakultas Hukum. Hal ini dinilai sangat memalukan mengingat oknum dosen tersebut termasuk dalam dosen fakultas hukum bagian pidana yang harusnya paham betul mengenai perbuatan tidak bermoral tersebut.
Perbuatan pelecehan seksual bukan hanya menimbulkan luka fisik tetapi juga trauma yang mendalam bagi korban yang menimpanya. Dibutuhkan terapi khusus bahkan pengobatan agar para korban dapat sembuh dari ingatan serta pengalaman pahit itu. Maka dari itu, perbuatan pelecehan seksual tidak akan pernah dibenarkan. Pelaku-pelaku pelecehan seksual pun juga memiliki berbagai motif, salah satunya karena kelainan seksual yang ia miliki.
Terdapat salah satu kasus yang menyorot perhatian baru-baru ini, mengenai oknum dosen yang melakukan pelecehan seksual dengan alesan riset swinger. Dikutip dalam harianjogja.com, ‘Korban dugaan pelecehan seksual seorang dosen kampus Islam di Jogja Bambang Ariyanto, diduga mencapai ratusan orang. Hal itu diungkapkan Illian Deta Artasari. Illian adalah salah satu orang yang menjadi sasaran pelaku. Modusnya, pelaku mengirimkan pesan melalui jaringan pribadi (japri) Whatsapp bermaksud melakukan penelitian tentang hubungan seksual bertukar pasangan alias swinger, namun ujung-ujungnya korban diajak curhat untuk memuaskan fantasi seksual pelaku.
Beruntung sejak awal Illian tegas menolak dan tidak memberi celah ke pelaku untuk berbuat lebih jauh’. Pelaku (BA) dengan mengejutkan membuat pernyataan di media sosialnya. Dia menjelaskan pelecehan seksual yang ia lakukan berkedok penelitian itu untuk memenuhi fantasi seksualnya tentang swinger. Ia juga mengakui telah melakukan pelecehan fisik maupun verbal kepada para korbannya. Bahkan untuk melancarkan perbuatannya, ia mencatut nama Nahdlatul Ulama (NU) dan Universitas Gajah Mada (UGM). Ia juga dengan jelas mengakui perbuatan menyimpangnya tersebut.
Pengakuannya tersebut ia unggah melalui media sosial facebook @Bams Utara pada minggu (2/8/2020). Kemudian pada hari itu juga pukul 22.00 WIB akun atas nama Bams Utara tiba-tiba menghilang. Dapat dilihat dari kasus ini pelaku atau oknum dosen tersebut memiliki gejala penyimpangan seksual. Penyimpangan seksual atau parafilia adalah bangkitnya gairah seksual secara terus menerus terhadap objek, situasi, atau individu tertentu yang tidak lazim. Dalam kasus ini terlihat dari ketertarikan pelaku terhadap swinger (pelaku hubungan tukar menukar).
Dosen merupakan pendidik profesional yang bekerja pada satuan pendidikan tinggi tertentu. Tugas utamanya ialah mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, juga seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada negara. Selayaknya pendidik tidaklah etis melakukan perbuatan pelecehan seksual.
Memang benar perbuatan pelecehan seksual tidak pernah dibenarkan dilakukan oleh siapapun. Namun, apabila yang melakukan perbuatan tersebut merupakan orang yang berpendidikan sangatlah memalukan. Apa guna pendidikan yang ia terima selama ini apabila tidak mampu membuat dirinya bermoral dan berakhlak baik.
Perilaku seorang dewasa yang terlibat aktivitas seksual tidak bermoral tidak akan pernah bisa dianggap normal dan diterima masyarakat, sudahlah pasti perbuatan atau perilaku tersebut akan mendapatkan sanksi, bukan hanya sanksi pidana penjara, namun juga sanksi sosial dari masyarakat. Untuk pelaku pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen umumnya diberikan sanksi oleh komisi etik seperti diskors atau pencabutan jabatan.
Apabila diajukan kepada pihak berwajib perbuatan pelecehan seksual dalam KUHP diatur dalam buku kedua tentang kejahatan, Bab XIV tentang Kejahatan Kesusilaan, pasal 281 sampai pasal 303. Merujuk pasal 289 KUHP, “Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukannya perbuatan cabul, dihukum selama-selamanya sembilan tahun”.
Baca juga:
- Kesesatan Berpikir Penanganan Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi
- Pentingnya Pendidikan Hukum Sejak Usia Dini
- Sodomi dan Pengaturannya dalam KUHP Baru
- Pelecehan Seksual Cat Calling: Bagaimana Hukum Mengaturnya?
- Lemahnya Payung Hukum Soal Data Pribadi di Akun Cantik-Ganteng
- Menyusuri Setapak Jalan Akun (Kampus) Mahasiswa Cantik-Ganteng
- 10 Program Studi Hukum Terbaik di Asia Tenggara, UNAIR Terbaik di Indonesia
- Kekerasan Seksual Terhadap Anak dalam Perspektif HAM
- Pemidanaan Gratifikasi Seksual
- Mengulik Pelecehan Seksual oleh ‘Oknum’ Akademisi