Tujuh puluh lima tahun sudah Indonesia merdeka, tetapi hingga sekarang bangsa ini masih terus dijajah oleh bangsanya sendiri. Korupsi merupakan salah satu kejahatan luar biasa yang belum dapat dimusnahkan sampai sekarang dan bahkan sudah membudaya ke seluruh lapisan elite bangsa Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selain merugikan negara, tindakan melawan hukum ini selain merugikan negara juga dapat mengganggu stabilitas dan menghambat pembangunan.
Pada tahun 2020 kemarin, total ada tujuh nama pejabat yang berhasil ditangkap KPK secara OTT, salah dua di antaranya adalah Edhy Prabowo selaku mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang seminggu kemudian disusul oleh Juliari Batubara selaku mantan Menteri Sosial. Banyak masyarakat mempertanyakan kinerja pengawasan pemerintah sampai-sampai dana bantuan sosial yang seharusnya disalurkan kepada masyarakat yang terdampak COVID-19 berani digunakan untuk sebatas memenuhi hasrat seseorang. Imbasnya kepercayaan publik terhadap pemerintah pun ikut menurun.
Bila menilik dari sejarah, praktik korupsi ternyata sudah dilakukan sejak zaman kerajaan, jauh sebelum bangsa Barat datang ke Indonesia. Barulah pada masa penjajahan bangsa Barat tindakan korupsi dilakukan secara sistematis dan mulai membudaya dengan memperbudak masyarakat lokal untuk dijadikan “badut politik” dan mencapai puncaknya pada masa Orde Baru hingga berkembang seperti sekarang.
Berdasarkan rekam jejak sejarah, korupsi sangat erat kaitannya dengan kata “kekuasaan” dan biasanya hanya dilakukan oleh mereka yang memiliki jabatan tinggi dengan motif untuk memperbanyak kekayaan maupun memperluas wewenangnya. Maraknya tindakan korupsi menuai protes dari sejumlah masyarakat dan mendorong perkembangan regulasi serta pengadaan lembaga yang berfungsi untuk mencegah dan memberantas korupsi, serta bekerja demi kepentingan masyarakat banyak.
Bukannya Menguatkan Justru Melemahkan?
Sudah selayaknya dalam memperbaiki suatu regulasi khususnya undang-undang yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi harus menyangkut pembenahan perumusan delik atau suatu perbuatan yang dapat dikenakan hukuman, perluasan subjek delik, serta mempersempit celah bagi para koruptor untuk dapat lari dari ancaman pidana. Seperti yang diketahui bahwa korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa sehingga dalam pemberantasannya pun menggunakan cara-cara yang luar biasa pula. Lalu, dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia atau biasa disingkat KPK pada 29 Desember 2003 sebagai suatu badan khusus yang bersifat independen.
Kehadiran KPK jelas disambut baik karena merupakan suatu tanda pembaharuan dan bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Namun seiring dengan perkembangannya, independensi KPK justru diragukan. Mulai dari lambatnya penangkapan sejumlah tersangka yang masuk dalam kategori “Daftar Pencarian Orang” atau DPO, pengangkatan pejabat KPK yang tidak transparan, disahkannya pegawai KPK menjadi ASN, dan penurunan Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis Transparency International dari 40 menjadi 37 di tahun 2020.
Indeks Persepsi Korupsi sangat penting karena menunjukkan hasil survei masyarakat terhadap kinerja KPK yang kemudian skor tersebut akan diperingkat secara global. Salah satu penyebab penurunan skor tersebut adalah disahkannya revisi undang-undang KPK, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kehadiran revisi undang-undang tersebut dikhawatirkan dapat mempolarisasi KPK ke arah politik tertentu yang jelas menghilangkan makna “lembaga independen” pada KPK itu sendiri. Rupanya jauh sebelum disahkan, undang-undang ini sudah disorot oleh masyarakat, ahli hukum, dan KPK itu sendiri. Sejumlah tokoh menyayangkan pembentukan undang-undang ini yang tidak transparan dan seolah-olah menutup telinga dari kritik. Beberapa hal yang disorot karena dapat mengganggu independensi KPK adalah adanya keberadaan dewan pengawas, pegawai KPK tunduk pada undang-undang ASN, serta wewenang penerbitan SP3.
Memastikan KPK bekerja sesuai dengan prosedur hukum dan mencegah adanya kesewenangan menjadi latar belakang Dewan Pengawas dibentuk. Kehadiran Dewan Pengawas merupakan dampak dari masuknya KPK ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang mana memberikan hak kepada presiden untuk memilih Dewan Pengawas guna check and balances.