Semboyan ‘Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi’ berarti suatu negeri yang memiliki kekayaan melimpah. Bahkan semenjak pemerintahan Orde Baru, Indonesia dikenal dunia sebagai negara agraris yang bahkan berhasil mencapai swasembada beras pada tahun 1984. Memang hal ini tidak terlepas dengan masifnya program pemerintah dalam melakukan ektensifikasi pertanian di era tersebut. Namun, apabila makna dari semboyan ‘Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi’ adalah negeri yang dipenuhi kekayaan melimpah, begitu miris apabila romantisme swasembada beras dijadikan benteng untuk coba menggenapinya. Seakan-akan kekayaan alam Indonesia hanya terpusat pada sektor pertanian semata.
Kekayaan Indonesia yang melimpah tersebut sebenarnya adalah nyata adanya namun memburam realitasnya. Kekayaan alam Indonesia tersebar ke dalam hampir seluruh sektor kehidupan manusia dimulai dari sektor perkebunan, sektor pertambangan, hingga sektor energi terbaharukan. Bahkan Indonesia dijuluki sebagai salah satu ‘paru-paru dunia’ oleh bangsa-bangsa di dunia. Kita dapat menengok fakta ketika terjadi kebakaran hutan dan lahan yang meluas di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan dalam beberapa tahun terakhir, tercatat kebakaran hutan tersebut berkontribusi pada kabut asap yang menyebar kepada beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Masih pada sektor kehutanan, data SiPongi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengemukakan hanya pada tahun 2019 terdapat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia sebesar 1.592.010 hektar. Berdasarkan Data Statistik Daerah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2017, luas wilayah DKI Jakarta adalah 661,52 km2 atau 66.152 hektar. Apabila dikomparasikan pada luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada tahun 2019, maka luas area kebakaran hutan dan lahan tersebut mencapai 24 kali luas wilayah DKI Jakarta. Namun besarnya luas area kebakaran hutan tersebut tidak berbanding lurus dengan proses penegakan hukum.
Hal ini tampak pada vonis majelis hakim yang dewasa ini cenderung melakukan penghukuman terhadap oknum masyarakat dan acapkali abai dengan tindak laku korporasi pelaku pembakar hutan dan lahan. Bahkan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3555 K/PDT/2018 menegaskan dalam amar putusannya bahwa Pemerintah telah melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan serta menghukum Pemerintah untuk menerbitkan Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan peran serta masyarakat. Hal ini turut membuka tabir mengenai longgarnya praktik penegakan hukum dalam pelestarian lingkungan hidup yang menjadi ruh dari UU PPLH.
Dimana kerentanan terhadap perlindungan terhadap aktivis lingkungan seringkali di berbagai tempat tercatat terus berulang. Istilah aktivis lingkungan hidup yang seringkali dikenal oleh masyarakat tak lain adalah Environmental Human Rights Defender, mereka merupakan pribadi atau kelompok yang berjuang untuk mempertahankan hak atas pelestarian lingkungan hidup yang terlindungi oleh Konstitusi. Namun maraknya disparitas terhadap komitmen perlindungan lingkungan hidup dengan bayang dalih investasi semakin tegas menunjukkan bahwa kita harus bergegas untuk menata sebuah komitmen tegas tanpa janji melainkan sebuah realisasi dan bahwa ungkapan ‘Alam Takambang Jadikan Guru’ adalah prinsip filosofis untuk melakukan pelestarian terhadap lingkungan hidup.
Amanat Konstitusi Tak Kunjung Tegak
Pasal 28H ayat (1) Konstitusi menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” dan dipertegas kembali pada dasar menimbang huruf (a) UU PPLH yang berbunyi: “bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat pula dalam literatur hukum terdapat sebuah istilah green constitution di mana I Dewa Gede Atmadja (2012) mengemukakan bahwa konsep kedaulatan tidak hanya serta merta perihal kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat melainkan pula sebuah kedaulatan ekologi dalam sebuah kesatuan. Maksudnya adalah dalam menegakkan sebuah hukum harus berorientasi pada masyarakat dan lingkungan secara komprehensif. Sehingga kedua komponen penegakan hukum tersebut merupakan komponen yang mutlak untuk menjadi dasar dalam pembentukkan hingga penegakan hukum. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan green constitution merupakan salah satu solusi untuk membentuk peraturan perundang-undangan dengan capaian berorientasi wasasan lingkungan hidup secara terpadu dan komprehensif.
Terlebih apabila salah satu tujuan negara dalam amanat pembukaan Konstitusi adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan lebih lanjut Pasal 33 ayat (4) Konstitusi menegaskan bahwa: “perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional”. Frasa prinsip kebersamaan dan berkelanjutan pada ketentuan Pasal 33 ayat (4) Konstitusi sangat jelas menunjukkan korelasi bahwa sebuah korporasi dan masyarakat harus duduk setara dalam melestarikan lingkungan hidup serta orientasi keuntungan oleh korporasi harus ditekan apabila tidak sejalan dengan kegiatan pengembalian keadaan lingkungan hidup dikarenakan segala bentuk usaha perekonomian harus mampu bertanggungjawab atas kelestarian lingkungan hidup. Selain itu frasa berwawasan lingkungan dalam ketentuan Pasal 33 ayat (4) Konstitusi tersebut berimplikasi bahwa sebuah usaha maupun pelaku ekonomi tidak dapat melakukan eksplorasi sumber daya alam hingga melakukan ecocide atau bentuk pengrusakan lainnya secara eksploitatif.
Rekonstruksi Konsepsi CSR
Corporate Social Responsibility (CSR) dimaknai dewasa ini sebagai tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat secara khusus yang bertempat tinggal pada wilayah tempat perusahaan tersebut menjalankan kegiatan usahanya. Namun seringkali pula CSR dipahami hanya memberikan ‘dana’ kepada masyarakat sebagai subtitusi dari kegiatan usaha dari pelaku usaha. Tidak jarang bahwa ‘dana’ yang diberikan tidak teralokasi pada pengembangan sumber daya manusia dengan orientasi lingkungan hidup melalui sebuah pembinaan yang terpadu.
CSR harus dipahami sebagai tindakan merawat alam dan manusia dalam sebuah kesatuan bukan sebuah subtitusi atas keuntungan yang telah didapatkan oleh pelaku usaha. Sebuah komitmen perlindungan lingkungan hidup harus terealisasi dalam sebuah bentuk CSR yang konkrit bukan hanya sebagai seremonial penanaman sejumlah bibit tanaman yang tidak koheren dengan pelestarian vegetasi pada wilayah terkait dan bahkan terkadang penanaman sejumlah bibit tanaman tidak terbina dalam proses perawatannya. Oleh karena itu sebuah CSR yang dapat dijalankan dapat berupa realisasi proposal Akrawat atau ‘Aku Merawat’ yang ditandai dengan pembangunan pada sektor pembangunan sumber daya manusia, pengembalian keadaan semula lingkungan hidup, dan sanksi terhadap pelaku usaha apabila terbukti tidak melakukan perawatan terhadap lingkungan hidup dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani oleh unsur pelaku usaha, elemen masyarakat atau para aktivis lingkungan hidup dan pemangku kepentingan daerah terkait di hadapan seorang notaris.
Hukum yang Hadir Melindungi
Pada hakikatnya, hukum harus bermanfaat bagi masyarakat sebagai penggunanya karena Satjipto Rahardjo (2006) dalam teori hukum progresif mengemukakan bahwa hukum untuk mensejahterakan manusia bukan manusia yang mengabdi kepada hukum. Perlu sebuah ketegasan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan UU PPLH dengan menambahkan pasal-pasal tentang perlindungan para aktivis lingkungan hidup secara khusus yang berkenaan dengan keselamatannya. Keselamatan hidup merupakan aspek penting yang acapkali abai diperhatikan oleh pemerintah perihal perlindungan aktivis termasuk aktivis lingkungan hidup. Selain itu pengangkatan majelis hakim pada perkara lingkungan hidup harus berorientasi kepada lingkungan hidup yang dapat ditempuh berdasarkan regulasi yang ditetapkan melalui sebuah transparasi dan uji publik melalui Mahkamah Agung dengan menghadirkan para aktivis lingkungan hidup agar supaya putusan yang kelak dikeluarkan akan memiliki sisi kemanusiaan terhadap perjuangan para pejuang kelestarian lingkungan hidup juga berwasasan lingkungan hidup terhadap kelestarian alam.
kawanhukum.id merupakan platform digital berbasis website yang mewadahi ide Gen Y dan Z tentang hukum Indonesia. Tulisan dapat berbentuk opini, esai ringan, atau tulisan ringan lainnya dari ide-idemu sendiri. Ingin tulisanmu juga diterbitkan di sini? Klik tautan ini.