Tujuan pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut:
- untuk tertib administrasi perkawinan.
- jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran, membuat Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain)
- memberikan perlindungan terhadap status perkawinan.
- memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak.
- memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan oleh adanya perkawinan.
Mengenai tata cara perkawinan diatur dalam Pasal 10 PP 9/1975, yang menentukan:
- Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
- Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
- Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Berdasarkan Pasal 7 KHI dapat dijumpai norma hukum terkait dengan Akta Nikah sebagai alat bukti suatu perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, yaitu:
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah.
- Akta Nikah tersebut dibuat oleh PPN.
- Bilamana perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya.
- Pengajuan isbah nikah tersebut ke Pengadilan Agama.
- Isbat nikah terbatas pada yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) KHI.
- Pihak yang dapat mengajukan isbat nikah, yaitu: (1) suami atau isteri, (2) anak-anak mereka, (3) wali nikah dan (4) pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu pengaturan mengenai hal tersebut. Apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.