Pencatatan perkawinan telah digulirkan sebagai masalah sejak awal dibentuknya Rancangan Undang-undang Perkawinan (RUUP) Tahun 1973 yang menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019. Hal ini terkait dengan pemaknaan hukum (legal meaning) pencatatan perkawinan dalam peraturan perundang-undangan perkawinan.
Perbuatan pencatatan perkawinan bukanlah menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Pencatatan bersifat administratif, yang menyatakan bahwa peristiwa perkawinan itu memang ada dan terjadi. Dengan pencatatan itu perkawinan menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun pihak-pihak lainnya. Suatu perkawinan yang tidak tercatat dalam Akta Nikah dianggap tidak ada oleh negara dan tidak mendapat kepastian hukum.
Begitu pula segala akibat yang timbul dari perkawinan tidak dicatat itu.Realitasnya, di antara warga negara Indonesia banyak yang tidak mencatatkan perkawinannya kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Perkawinan yang dilakukan oleh mereka hanya memenuhi tuntutan agamanya tanpa memenuhi tuntutan administratif.
Tujuan pencatatan perkawinan yaitu sebagai berikut:
- untuk tertib administrasi perkawinan.
- jaminan memperoleh hak-hak tertentu (memperoleh akte kelahiran, membuat Kartu Tanda Penduduk, membuat Kartu Keluarga, dan lain-lain)
- memberikan perlindungan terhadap status perkawinan.
- memberikan kepastian terhadap status hukum suami, istri maupun anak.
- memberikan perlindungan terhadap hak-hak sipil yang diakibatkan oleh adanya perkawinan.
Mengenai tata cara perkawinan diatur dalam Pasal 10 PP 9/1975, yang menentukan:
- Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti yang dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah ini.
- Tatacara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
- Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Berdasarkan Pasal 7 KHI dapat dijumpai norma hukum terkait dengan Akta Nikah sebagai alat bukti suatu perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, yaitu:
- Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah.
- Akta Nikah tersebut dibuat oleh PPN.
- Bilamana perkawinan tersebut tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan isbat nikahnya.
- Pengajuan isbah nikah tersebut ke Pengadilan Agama.
- Isbat nikah terbatas pada yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) KHI.
- Pihak yang dapat mengajukan isbat nikah, yaitu: (1) suami atau isteri, (2) anak-anak mereka, (3) wali nikah dan (4) pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.
Pencatatan perkawinan mengandung manfaat atau kemaslahatan, kebaikan yang besar dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu pengaturan mengenai hal tersebut. Apabila perkawinan tidak diatur secara jelas melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatkan akan digunakan oleh pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi dan merugikan pihak lain terutama isteri dan anak-anak.