Selain itu, limbah medis utamanya limbah vaksin yang dimusnahkan juga harus disertai berita acara penyerahan atau pemusnahan limbah. Ini penting untuk menghindari terjadinya kebocoran wadah kosong serta adanya kemasan vaksin secara jalur ilegal.
Limbah-limbah tersebut memerlukan penanganan khusus dalam proses pembuangannya supaya tidak membahayakan kehidupan makhluk hidup di sekitar tempat pembuangannya. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan insinerator.
Sudah terdapat regulasi yang menjadi dasar penggunaan insinerator sebagai mesin pembakar sampah tetapi regulasi yang mengatur gas emisi yang merupakan dampak hasil pembakaran insinerator belum secara tegas dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu, Kementerian Kesehatan memberikan prosedur atau langkah-langkah mengenai pengolahan limbah jika tidak menggunakan insinerator, yakni metode landfill.
Landfill merupakan metode pengolahan limbah dengan cara penimbunan dan pemadatan kemudian bagian atasnya dilapisi oleh tanah. Langkahnya diawali dengan cara diberi cairan disinfektan berbasis klor 0,5 persen dan dirusak bentuknya agar tidak dapat digunakan kembali. Konstruksi metode landfill dapat menggunakan jasa perusahaan pengolahaan yang telah memiliki izin, seperti Dinas Lingkungan Hidup (DLH) setempat dan harus melaporkannya kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengenai jumlah limbah B3 medis yang dikelola menggunakan DLH provinsi/kabupaten/kota.
Walaupun begitu, metode landfill bukan solusi permanen dari permasalahan ini. Metode landfill menggunakan mesin insinerator yang berbagai keunggulan daripada pengolahan limbah secara umumnya, yaitu penimbunan di TPA. Di balik berbagai keunggulannya, mesin insinerator memiliki dampak yang buruk. Dampak tersebut seperti emisi sisa pembakarannya mengandung zat-zat kimia yang mengancam kesehatan manusia dan kelestarian lingkungan.
Walaupun beberapa limbah medis memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tetap saja berpotensi tinggi menularkan virus kepada penjual maupun pembeli. Sejatinya, apabila dikelola dengan tepat limbah medis dapat menjadi “madu”, tetapi apabila jatuh ke tangan yang salah maka dapat pula menjadi “racun”. Mirisnya, hingga saat ini masih banyak oknum-oknum yang menyalahgunakan limbah medis untuk keuntungan semata. Limbah medis memang bernilai lebih mahal daripada plastik biasa.
Botol infus bekas dihargai Rp6.000 sampai Rp 7.000 per kilonya. Sementara selang infus, Rp 20.000 per kilonya dan alat suntik bekas seharga Rp 2.000 hingga Rp 3.000 per kilo. Sementara, harga plastik kresek hanya berkisar Rp 300 per kilogram.
Seorang pemulung di TPA Burangkeng bernama Arsanah (45 tahun) mengatakan bahwa beliau sudah sering menemukan limbah medis Covid-19, bahkan tidak jarang Arsanah menemukan botol infus yang masih lengkap dengan jarumnya. Dari limbah Covid-19 yang ditemukan tersebut, Arsanah dan pemulung-pemulung lainnya mengumpulkannya dengan plastik-plastik lain kemudian kembali menjualnya secara bebas.