Pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Indonesia menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini. Rencananya, Pemerintah akan memindahkan IKN dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Berbagai kalangan dari pakar, politikus, hingga aktivis saling melempar pendapat pro dan kontra terhadap rencana pemindahan IKN.
Perbincangan atas rencana pemindahan IKN semakin ramai dengan disahkannya UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN) pada 15 Februari 2022. UU yang hanya dibahas dalam tempo 42 hari ini tidak lepas dari berbagai justifikasi, kekurangan hingga kritikan.
Kritik IKN dalam Berbagai Sisi
Dari sisi lingkungan, mengutip dari CNN Indonesia Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), proses penentuan lokasi dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Walhi Wahyu Perdana, terdapat permasalahan lingkungan seperti ancaman terhadap tata air dan risiko perubahan iklim. Terdapat pula ancaman terhadap flora dan fauna, serta ancaman terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.
Dari sisi anggaran, belum ada kepastian mengenai pembiayaan ibu kota baru. Pemerintah telah mengalokasikan dana sebesar Rp 510 miliar dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 untuk IKN. Hal itu tertuang di Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 85 Tahun 2021 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2022. Secara keseluruhan, dana yang dibutuhkan untuk ibu kota baru sekitar Rp 466 – 486 triliun.
Dari sisi desain juga menuai kritik. Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Georgius Budi Yulianto menilai kriteria bangunan publik tak hanya mengandalkan bentuk dan estetika. Bangunan publik harus memenuhi kriteria lainnya mulai dari keamanan hingga kesehatan bangunan. Istana IKN baru didesain bukan oleh arsitek, melainkan seniman patung I Nyoman Nuarta.
Desain itu disebut sudah mendapat persetujuan Presiden Joko Widodo, setelah mengalami delapan kali revisi. Desain istana terpilih menyerupai burung garuda, posisi gedung berada di atas bukit dengan ketinggian 88 mdpl dan tinggi sayap garuda mencapai 170 meter. Selain itu, arsitektur juga harus mempertimbangkan penghematan energi, sumber daya alam, pengurangan emisi gas rumah kaca, hingga isu lingkungan dan sosial.
Berkaca pada Proyek Hambalang
Meski berbeda rezim, pemerintah perlu berwaspada mengenai kemungkinan terburuk dari ambisi pembangunan ini. Pemerintah perlu berkaca dari proyek Hambalang. Proyek yang berujung pada kasus korupsi ini sedianya akan digunakan sebagai pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON).
Hambalang yang dibangun pada Periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menjadi pusat latihan atlet-atlet elite Indonesia akhirnya mangkrak bertahun-tahun. Proyek ini menyedot anggaran sebesar Rp 2,5 triliun. KPK mengendus praktik korupsi dalam pembangunannya.
Sejumlah kader Partai Demokrat menjadi tersangka dalam kasus korupsi ini. Mereka adalah eks Menpora era Presiden SBY Andi Mallarangeng, eks Direktur Operasional PT Adhi Karya Tbk Teuku Bagus Mukhamad Noor, hingga eks Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Kerugian negara akibat proyek Hambalang ini mencapai Rp 706 miliar. Hingga saat ini bangunan di area proyek tersebut mangkrak tak dipergunakan untuk apapun.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.