Majelis Ulama Indonesia (MUI) melarang perkawinan beda agama, namun banyak Muslim mencari peluang ‘penyelundupan hukum’. Jalan keluar dari pernikahan beda agama ini adalah dengan menikah di dua instansi yaitu Kantor Urusan Agama (KUA) dan Gereja, sehingga pasangan tersebut mempunyai dua buku nikah yang berbeda dan setelah itu mencatatkannya di Kantor Catatan Sipil.
Praktik ini tidak lebih dari penundukan sementara kepada salah satu hukum agama. Atau, dengan menikah di luar negeri secara sipil, kemudian kembali ke Indonesia dengan melaporkannya ke Kantor Catatan Sipil tempat kediamannya. Dasar hukum yang digunakan adalah Pasal 56 UU Perkawinan.
Dalam sisi Hukum Perdata Internasional (HPI), perkawinan yang sah adalah bila memenuhi syarat formal dalam Pasal 18 Algemene Bepalingen (AB). Pasal ini menyatakan bahwa bentuk tiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut perundang-undangan negeri atau tempat tindakan hukum itu dilakukan sebagai locus regit actum dan syarat materil dalam Pasal 16 AB.
Pasal ini menyatakan bahwa bagi penduduk Hindia-Belanda (Indonesia) peraturan-peraturan perundang-undangan mengenai status dan wewenang hukum seseorang tetap berlaku terhadap mereka apabila mereka berada di luar negeri. Jadi, perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri hanya memenuhi Pasal 18 AB, namun melanggar syarat materil Pasal 16 AB.
Terdapat contoh kasus penyelundupan hukum di Indonesia karena perkawinan berbeda agama. Misalnya, perkawinan artis Deddy Corbuzier yang beragama Katholik dengan Kalina yang beragam Islam pada awal tahun 2005. Deddy dinikahkan secara agama Islam oleh penghulu pribadi dari Yayasan Paramadina.