Keempat, Pasal 219 “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjaran paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV”
Berdasarkan dari sifat deliknya diubah pula dari delik biasa menjadi delik aduan. Perlu diingat bahwa dalam KUHP yang berlaku saat ini Penghinaan dapat dipidana berdasarkan aduan, yang mana aduan itu sendiri dapat dicabut berdasarkan permintaan korban. Terdapat beberapa catatan penting persoalan kontra terhadap pengaturan pasal penghinaan presiden ini dalam RKUHP.
Tidak Ada Tolak Ukur Kepastian yang Bersifat Tegas dan Limitatif
Kondisi ini berpotensi membuka celah lebar penafsiran terhadap frasa “penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat” Presiden atau Wakil Presiden. Adanya celah lebar dalam penafsiran frasa ini menimbulkan permasalahan Membuka ruang penafsiran yang cukup luas (multitafsir) Berpotensi menimbulkan kekaburan antara tindakan apa yang dikategorikan sebagai kritik dengan apa yang dikategorikan sebagai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden atau Wakil Presiden. Adanya kekaburan ini membuka celah pemidanaan terhadap tindakan kritik dengan dimasukkannya tindakan yang sesungguhnya sebagai tindakan kritik namun justru dimaknai sebagai tindakan Penghinaan.
Selain itu tidak adanya tolak ukur pasti tidak mencerminkan asas kejelasan rumusan sebagai bagian dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menegaskan bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaanya.
Tidak Sejalan dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis
Kita semua tau Indonesia sendiri merupakan negara demokrasi sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945. Salah satu unsur negara demokrasi, adalah adanya keterlibatan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan dan kebijakan pemerintah. Hal ini pun sudah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang menjamin hak setiap orang untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Partisipasi ini dapat berupa tindakan penyampaian pendapat maupun kritik dalam bentuk yang beragam, baik secara tertulis maupun lisan. Adanya Pasal Penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden yang cenderung bersifat multitafsir dapat dijadikan ruang untuk memidanakan setiap orang yang melakukan perbuatan ‘yang sesungguhnya kritik’, namun dianggap sebagai penghinaan Presiden atau Wakil Presiden sehingga secara langsung akan bertentangan semangat demokrasi.