Pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Bentuk dari sistem peradilan yang dilaksanakan di pengadilan adalah sebuah forum publik yang resmi dan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
Berbeda dengan cabang ilmu yang lain. Ilmu hukum bersifat lebih kompleks, abstrak, dan terus berubah dan berkembang mengikuti perkembangan masyarakat. Pengadilan yang merupakan bentuk nyata ilmu hukum juga terus berkembang sejalan dengan ditemukannya dasar-dasar hukum baru di Indonesia, baik itu UU baru, traktat, yurispidensi, dan doktrin-doktrin yang baru.
Lalu bagaimana pengadilan di masa pandemi COVID-19 yang saat ini saat ini sedang dilanda bangsa Indonesia?
Di masa pandemi ini pengadilan merupakan salah satu aspek yang kurang diperhatikan oleh masyarakat. Padahal, pengadilan saat masa pandemi COVID-19 ini mengalami perubahan yang tidak sedikit. Hal ini dapat dilihat dari peradilan di Indonesia yang sejak pemerintah menerapkan kebijakan Work From Home (WFH) sudah menggunakan sistem e-court.
Jaksa Agung ST Burhanuddin sebelumnya telah menginstruksikan seluruh Kejaksaan Negeri (Kejari) untuk menggelar persidangan secara daring (online). Kebijakan e-court memang sudah ada sejak dari 2018 yang lalu tetapi mulai intensif digunakan saat wabah COVID-19 ini melanda Indonesia.
Aplikasi administrasi perkara berbasis daring ini merupakan implementasi Peraturan MA No. 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Administrasi Perkara di Pengadilan Secara Elektronik tertanggal 29 Maret 2018 dan resmi diundangkan pada 4 April 2018 yang berarti dilakukan secara virtual tanpa harus hadir langsung di pengadilan.
Peradilan secara e-court ini dinilai lebih efektif, aman, dan hemat biaya dibandingkan dengan pengadilan secara langsung disaat kondisi saat ini. Setidaknya hingga 29 Juni 2020, telah digelar 95.600 sidang perkara secara daring. Tetapi, tidak sedikit juga permasalahan yang harus dihadapi saat melakukan e-court.
Permasalahan tersebut antara lain. Pertama, koneksi jaringan internet yang lambat di remote area termasuk juga daerah pelosok seringkali menganggu kelancaran sidang. Kecakapan sumber daya manusia (SDM) dalam mengoperasikan peralatan atau aplikasi untuk proses sidang daring juga belum tentu sama di setiap daerah.
Kedua, keberadaan terdakwa atau saksi-saksi tidak dapat dihadapkan secara langsung. Tentu ini bisa menyulitkan para jaksa penuntut umum serta majelis hakim dan penasihat hukum untuk bisa menggali fakta-fakta yang sebenarnya.
Ketiga, persoalan barang bukti yang terkadang tidak dapat diakses secara detil.
Selain ketiga permasalahan tersebut, hal yang menjadi sorotan para ahli hukum adalah integritas hakim yang patut dipertanyakan dalam sistem e-court ini. Sistem e-court dinilai memiliki potensi kecurangan yang lebih tinggi. Bagaimana tidak? Kita tidak tahu apa yang terjadi dibalik layar saat hakim berbicara dibalik layar. Terlebih lagi belum adanya standarsisasi persidangan daring karena Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mengakomodasi pemeriksaan persidangan melalui daring.