Kenyataan bahwa Indonesia menjadi Negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, menjunjung tinggi HAM dan menjamin segala warga negara yang bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan masih menghasilkan kenyataan yang bertolak belakang. Faktanya tak jarang masih banyak masyarakat tidak mampu menjadi korban ketidakadilan hukum di Indonesia. Proses penegakan hukum seringkali melahirkan perumpamaan dalam masyarakat yakni “tajam ke bawah namun tumpul ke atas”. Ungkapan tersebut dibuktikan dengan hadirnya kasus yang pernah terjadi oleh Nenek Minah (55) yang tak pernah menyangka perbuatan isengnya memetik tiga buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA) menjadikannya sebagai pesakitan di ruang pengadilan. Bahkan atasperbuatannya itu, Nenek Minah diganjar satu bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan tiga bulan.
Dalam kasus lain, pasangan suami istri Supriyono dan Sulastri, warga desa Sukorejo yang mencuri setandan pisang divobis hukum 3,5 bulan oleh Majelis Hakim PN Bojonegoro. Kasus tersebut menjadi dua dari sekian kasus lainnya yang merupakan bukti dari penanganan kasus yang memang cenderung tajam ke bawah. Padahal, jenis pencurian yang dilakukan oleh warga miskin tersebut didorong oleh rasa ketiadaan, kelaparan dan kemiskinan bukan karena ketamakan atau kerakusan.
Hal ini termasuk melanggar Undang-Undang Dasar pasal 28 D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Penjelasan ayat tersebut mengindikasikan bahwa setiap orang berhak diperlakukan sama dihadapan hukum. Tidak peduli status sosialnya, baik dia pemulung sampai presidan sekalipun harus diperlakukan sama dihadapan hukum.
Ketimpangan Hukum Bagi Kaum Bawah
Leave a comment