COVID-19 memiliki dampak buruk yang signifikan secara sosial dan ekonomi dunia. Dampak tersebut khususnya terjadi pada sektor bisnis dan akibat keadaan yang memaksa para pelaku usaha tidak melakukan prestasi atas apa yang telah diperjanjikan. Menurut hukum perdata tentunya pihak yang tidak melaksanakan suatu kewajiban atas perjanjian yang telah dilakukan maka dapat dkatakan telah “ingkar janji” atau “lalai” dalam menjalankan kewajibannya. Pasal 1243 KUHPerdata mengatur kewajiban pembayaran ganti rugi atas tidak terpenuhinya suatu prestasi dalam perjanjian tersebut.
Situasi pada pandemi ini menyebabkan banyak tafsir terhadap COVID-19 sebagai force majeure non-alam yang mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi di luar kendali. Konsekuensinya, hal ini dapat membebaskan biaya ganti rugi, denda dan bahkan dapat membatalkan perjanjian kontrak. Apalagi, setelah dikeluarkannya Keppres Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional ini membuat semua orang beranggapan bahwa bencana COVID-19 ini termasuk force majeure.
Juga, Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata yang pada intinya mengatur bahwa dalam suatu kondisi yang memaksa salah satu pihak tidak dapat menjalankan kewajibannya dalam memenuhi prestasinya dapat dilepaskan dari tanggung jawab untuk mengganti kerugian yang ditimbulkan. Hal ini biasa disebut dengan force majeure yang dimana terjadi keadaan tertentu yang mengakibatkan debitur kesulitan untuk melaksanakan prestasinya, kalaupun dilaksanakan akan ada pengorbanan tertentu yang akan mengakibatkan ketidak praktisan dalam pelaksanannya. Konsekuensinya, pelaksanaan prestasi dapat ditunda sampai keadaan yang normal.
Force majeure dalam kontrak perjanjian dipergunakan untuk menanggulangi akan terjadinya kerugian yang timbul berdampak dalam suatu perjanjian karena act of god, seperti gempa, trunami, banjir, kebakaran, pemadaman listrik, perang, kudeta, embargo dll yang tidak dapat diprediksi akan timbulnya peristiwa tersebut. Unsur yang terkandung sebagai force majeure yaitu peristiwa kejadian merupakan peristiwa alam yang tidak dapat dihindari dan tidak dapat diperkirakan sebelum pembuatan kontrak tersebut dan peristiwa yang menunjukkan tidak dapat dilaksanakan dalam pemenuhan pelaksanaan prestasi terhadap suatu kontrak untuk waktu tertentu.
Mahfud MD menyatakan keliru apabila beranggapan bahwa Keppres No. 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non-alam penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional menjadi landasan dalam membatalkan kontrak perjanjian berkaitan dengan kontrak bisnis. COVID-19 sebagai bencana nasional tidak dapat serta merta langsung dijadikan alasan pembatalan kontrak berlandaskan force majeure.
Praktisi hukum rahayu ningsih hoed dalam pernyataannya bahwa dalam kondisi COVID-19 merupakan suatu keadaan kahar berdasarkan definisi keadaan memaksa didalam perjanjian tersebut. Menurutnya, jenis klausula keadaan memaksa terdiri atas dua hal yakni klausul tidak eksklusif yang memberikan kesempatan salah satu pihak dapat mengklaim force majeure karena adanya situasi yang dapat dikatakan sebagai keberlakuan force majeure dan klausul eksklusif adalah keadaan memaksa keterbatasan pada situasi tersebut di dalam perjanjian.