Permasalahan yang kemudian muncul yaitu ketika melihat sifat final dan mengikat putusan Mahkamah Konstitusi dari aspek law in action. Bahwa masih ditemukan putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak dijalankan secara konsekuen sebagaimana diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan (non-executiable). Akibatnya, keberadaan putusan Mahkamah Konstitusi hanya mengambang (floating execution).
Ada beberapa contoh kasus mengenai Putusan MK yang justru tidak dilaksanakan secara konsekuen oleh pihak yang seharusnya menindaklanjuti putusan tersebut (addressat), yang akan terbagi berdasarkan cabang kekuasaan negara, yaitu kekuasaan cabang legislatif, cabang kekuasaan eksekutif, dan cabang kekuasaan yudikatif lainnya yaitu Mahkamah Agung.
Pertama, Putusan MK yang tidak dilaksanakan oleh cabang kekuasaan legislatif salah satu contohnya yaitu Putusan Nomor 92/ PUU-X/2012.Melalui putusan tersebut, MK menyatakan bahwa seluruh ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta Undang-Undang nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang telah mereduksi kewenangan Dewan Perwakilan Daerah sebagaimana telah ditentukan oleh UUD 1945 atau setidaknya telah mengurangi fungsi, tugas dan kewenangannya yang dikehendaki konstitusi harus dinyatakan inkonstitusional.
Kedua, Putusan MK yang tidak dipatuhi oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga yang dikualifikasikan ke dalam cabang kekuasaan yudikatif selain Mahkamah Konstitusi, adalah Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006 tentang penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ketiga, putusan yang diabaikan oleh cabang kekuasaan eksekutif salah satunya yaitu PutusanNomor 33/PUU-XIV/2016 yang memutuskan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat
Beberapa contoh di atas menunjukkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi masih mengambang dan bahkan cenderung diingkari oleh penyelenggara negara. Putusan Mahkamah Konstitusi hanya bersifat tegas pada tataran law in book, namun justru tumpul pada tataran law in action. Pada aspek keadilan dan kepastian hukum, tentu ini menjadi persoalan yang sangat serius. Apalah artinya putusan yang bisa menjawab persoalan masyarakat jika putusan tersebut tidak dilaksanakan, hanya menjadi macan kertas. Keinginan untuk mencapai keadilan hanya sebatas tertulis di atas kertas saja. Aspek kepastian hukum akhirnya juga terabaikan karena putusan yang ada tidak dapat ditegakkan.