Dalam kasus revenge porn sebenarnya telah diatur dalam beberapa peraturan yang ada di Indonesia yaitu
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 282, 283, 532 dengan syarat “sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Pronografi”;
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat (1);
- Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pronografi Pasal 4 ayat (1);
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 1 ayat (2).
Peraturan yang telah mengatur tindakan revenge porn sekarang ini dinilai hanya berfokus pada usaha pembalasan dendam kepada pelaku dan kurang komperhensif. Pelaku yang telah melakukan kejahatan harus dijatuhi hukuman pidana penjara dan denda seberat-beratnya agar jera. Hal ini bertentangan dengan asas ultimum remidium yaitu hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum.
Sehingga tindakan pelaku bisa saja dapat terulang kembali. Serta peraturan yang ada kurang memperhatikan hak-hak korban, dimana dalam kasus kekerasan seksual terutama revenge porn dampak yang paling besar dari diri korban adalah keadaan psikologis korban yang harus dipulihkan dengan terapi atau tindakan tertentu. Hal tersebut kurang diakomodir oleh peraturan yang ada sekarang ini.
Komnas Perempuan mengusulkan adanya pembaharuan hukum mengenai tindak pidana kekerasan seksual yaitu dengan adanya RUU PKS. Keberadaan RUU PKS ini hingga sekarang belum mendapatkan pengesahan oleh DPR RI dan sempat dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas Tahun 2020. Namun, beberapa hari yang lalu sempat ada kabar bahwa RUU PKS ini masuk kembali dalam daftar Prolegnas Tahun 2021.
Alasan mengenai harus disahkannya RUU PKS, karena pendefinisian terkait kekerasan seksual lebih komperhensif tidak hanya menyangkut fisik namun juga non-fisik dan mempertimbangkan adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender yang sekarang ini juga sering terjadi di Indonesia. Korban juga mendapatkan hak atas pemulihan yang meliputi pemulihan fisik, psikologis, ekonomi, sosial, dan budaya serta ganti kerugian. Dimana dalam peraturan yang ada sekarang masih banyak kelemahannya, jika mengacu pada Pasal 14c KUHP, penetapan ganti rugi dijatuhkan jika hakim ingin menjatuhkan pidana bersyarat bukan atas kehendak atau permintaan dari pihak korban.
Dari segi alat bukti juga RUU PKS lebih mengaturnya secara detail daripada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU Pronografi. Dari hal aparat penegak hukumnya juga diatur bahwa penyidik, penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara kekerasan seksual harus memiliki pengetahuan dan keahlian tetang Penanganan Korban yang berprespektif Hak Asasi Manusia dan gender, dan harus telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara kekerasan seksual. Sehingga diharapkan dengan adanya para penegak hukum yang berkompeten akan meminimalisir tindakan victim blaming.
Selain itu juga, pidana pokok yang dijatuhkan ada pidana penjara dan rehabilitasi khusus yang sebelumnya juga tidak diatur dalam KUHP maupun peraturan lainnya. Dimana rehabilitasi khusus ini sebagai upaya yang dilakukan untuk mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku seksual terpidana dan mencegah keberulangan Kekerasan Seksual oleh terpidana yang mencakup penyediaan jasa pendidikan, medis, psikologis, psikiatris dan/atau sosial oleh Negara.
Jadi, pelaku tidak hanya dibuat jera dengan dijatuhi pidana penjara saja namun, dari segi psikologis dan cara berpikir pelaku juga dirubah yang diharapkan bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya kembali. Dengan masuknya kembali RUU PKS dalam Prolegnas 2021 semoga hak korban dapat dipenuhi dan penjatuhan hukuman terhadap pelaku tidak hanya bersifat preventif dan represif tetapi juga rehabilitatif.
Daftar Pustaka