Baik itu Pinangki maupun Hardianti tentu tidak saling kenal dan tidak terlibat dalam suatu tindak pidana yang sama. Tetapi dengan melihat kenyataan tersebut kita bisa melihat dengan gamblang adanya suatu ketidak adilan yang terjadi dalam penegakan hukum. Atas dasar kedua kasus di atas, saya akan mengkontekskannya dengan masalah disparitas pemidanaan secara konseptual dan kontekstual.
Disparitas Pemidanaan dan Problematikanya
Perdebatan mengenai berat ringannya suatu hukuman yang pantas diberikan kepada seorang terdakwa menjadi perdebatan yang hingga saat ini masihlah belum menemukan titik temu yang jelas. Setidaknya terdapat kesepakatan bahwa seseorang harus diberikan hukuman/sanksi sesuai serta berimbang dengan tingkat bahaya (seriusitas) tindak pidana yang ia perbuat. Sebagaimana sebuah adagium oleh Beccaria yakni “let punishment fit the crime”. Penjatuhan sanksi pidana dikehendaki dijatuhkan berdasarkan implementasi prinsip proporsionalitas.
Disparitas pemidanaan merupakan kebalikannya, yang mana dispartias pemidanaan memiliki makna adanya perbedaan besaran hukum yang dijatuhkan pengadilan dalam perkara-perkara yang memiliki karakteristik yang sama. Dalam perkembangannya dikaitkan dengan fakta sosiologis penegakn hukum yang ada, disparitas pemidanaan juga dikontekskan dengan penjatuhan hukuman yang sama terhadap pelaku yang melakukan kejahatan yang berbeda tingkat seriusitasnya.
Mari kembali pada analogi permbandingan kedua kasus di atas, yakni antara Pinangki dan Hardianti. Pinangki melakukan tindak pidana yang tentu mendapatkan keuntungan besar bagi dirinya, merugikan negara, lembaga Kejaksaan tempatnya pernah bertugas, dan tentunya mencoreng martabat penegak hukum. Kemudian Hardianti yang menyalahgunaan narkoba untuk dirinya sendiri yang sebenarnya juga merugikan dirinya sendiri dari segi kesehatan, dan ia tidak merugikan orang lain, bahkan apa yang ia lakukan adalah bentuk pelarian atas beratnya tanggungan hidup yang ia rasakan.
Dalam hal pertimbangan hukum hakim atas kasus Pinangki, Majelis Hakim Banding mengurangi hukuman baginya atas dasar beberapa hal diantaranya: 1) Pinangki telah ikhlas dipecat dari jabatannya; 2) ia merupakan ibu dari anak yang masih balita; 3) Pinangki sebagai perempuan harus mendapat perhatian, perlindungan, dan perlakuan secara adil. Saya tidak akan membahas logis tidaknya pertimbangan hukum tersebut. Mari fokus pada usaha melihat titik ketimpangan yang menjadi asal muasal disparitas pemidanaan ini.
Jika diperbandingkan dengan kasus Hardianti yang dalam pertimbangan hukum hakim tidak membahas sama sekali tentang keadaannya yang terjerat kemiskinan, sebagai ibu dari tiga orang anak dan masih membiayai orang tuanya, serta kesulitan mencari rezeki di masa pandemi ini. Bukankah aneh seorang Jaksa yang memiliki skala tingkat seriusitas dan menyebabkan kerugian yang sangat besar justru dihukum lebih ringan dari seorang penyalahguna narkoba yang terjerat kondisi kemiskinan dan masih dalam cakupan merugikan dirinya sendiri.