Saat berbicara mengenai penegakan hukum wajar saja jika yang didambakan adalah terwujudnya keadilan bagi seluruh masyarakat. Tanpa memandang status, golongan, pangkat, ras, agama, hingga pengaruh politik. Pada hakikatnya hukum dibentuk selain untuk menjaga tertib sosial, barangkali yang lebih mulai yakni tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Sebuah tujuan yang selalu terngiang-ngiang saat membayangkan hukum yang begitu ideal dan mampu menyentuh titik terdalam nilai-nilai kemanusiaan serta keberimbangan dalam memutuskan nasib seseorang.
Gambaran di atas merupakan titik ideal hukum yang dibayangkan serta diimpikan oleh mungkin seluruh masyarakat. Sekarang mari kita bicarakan mengenai titik realitas hukum yang hidup dan mengatur seluruh lini kehidupan bersmayarakat dan bernegara. Saya mengambil pembahasan ini dari satu titik mula yakni penegakan hukum.
Tentu pembahasan tentang penegakan hukum memiliki banyak konteks. Akan tetapi saya akan mengambil satu bagian penting dalam penegakan hukum yakni mengenai penjatuhan putusan oleh Lembaga Peradilan. Mengapa? Tidak lain tidak bukan karena hakim sebagai representasi lembaga peradilan merupakan tangan Tuhan, tangan yang memiliki kewenangan untuk menentukan hidup-mati seseorang, tangan yang dielu-elukan untuk mewujudkan tujuan esensial hukum, yakni keadilan.
Tanpa berpanjang lebar membahas mengenai kewenangan hakim dalam konteks kekuasaan kehakiman. Saya memilih untuk lebih berfokus pada satu masalah yang selalu menjadi suatu permasalahan dalam suatu putusan hakum apakah sudah memenuhi rasa keadilan. Permasalahan tersebut yakni mengenai disparitas pemidanaan yang bahkan disebut oleh Prof. Muladi sebagai “distrubing issue” dalam berbagai sistem peradilan pidana. Sebelum membahas lebih jauh mengenai isu disparitas pemidanaan, izinkan saya untuk memberikan sebuah gambaran salah satu kasus nyata yang mungkin bisa memberikan konteks lebih jelas.
Sebuah Analogi Perbandingan Kasus
Beberapa waktu belakang, kita mengetahu bahwa seorang mantan penegak hukum yang pernah menjabat sebagai Jaksa yakni Pinangi terbukti melakukan persekongkolan jahat dengan buronan kasus korupsi, yakni Djoko Tjandra. Atas perbuatannya tersebut di tingkat Banding vonis yang dijatuhkan kepadanya adalah pidana penjara 4 tahun dan pidana denda sebesar Rp. 600 juta rupiah subsider pidana kurungan 6 bulan. Vonis tersebut jauh lebih ringan daripada vonis sebelumnya di tingkat Pertama yang mana memvonis Pinangki dengan hukuman 10 tahun penjara.
Mari beranjak pada kasus lainnya, kasus penyalahgunaan narkoba yang menjerat Hardianti seorang penjual pisang epe yang terjerat kemiskinan dan menjadi tulang punggung untuk membiayai ketiga anak dan orang tuanya. Atas perbuatan penyalahgunaan narkoba seberat 0,5 gram tersebut, ia divonis 5 tahun penjara dan denda Rp. 1 miliar rupiah subsider pidana kurungan 3 bulan.