Dalam Badan Usaha Milik Negara atau BUMN, masih terjadi penyimpangan antara business judgment rule dengan tindak pidana korupsi berkaitan dengan keputusan bisnis yang dilakukan oleh direksi BUMN. Sebagai contoh, dalam perkara yang melibatkan Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), yaitu Karen Agustiawan, mengenai akusisi blok minyak Basker, Manta, dan Gummy di Australia, dimana dalam amar putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadjilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 15/Pid.Sus-TPK/2019/PN.Jkt.Pst, mengadili tindakan Karen Agustiawan sebagai tindak pidana korupsi. Namun, setelah dilakukan banding di tingkat kasasi, Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020, memutuskan bahwa tindakan yang dilakukan Karen Agustiawan bukan merupakan tindak pidana korupsi dan memutus lepas Karen Agustiawan dari segala tuntutan hukum atau ontslag van alle rechtsvervolging.
Dengan kedua putusan yang saling bertolak belakang tersebut, menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat berakibat terhadap perkembangan bisnis BUMN yang terhambat karena direksi ragu untuk mengambil suatu keputusan bisnis karena ancaman tindak pidana korupsi, apabila keputusan bisnis yang diambilnya menyebabkan kerugian bagi BUMN, dimana sudah semestinya dipahami bahwa dalam dunia usaha, terdapat kemungkinan untuk merugi akibat dari keputusan bisnis yang diambil, selama keputusan tersebut telah didasari dengan itikad baik, kehati-hatian, dan tidak menyimpang dari Anggaran Dasar perseroan.
Pada hakekatnya, business judgment rule merupakan sebuah doktrin yang menyatakan bahwa kebijakan direksi perseroan tidak dapat diganggu gugat dan dapat dibenarkan meskipun menyebabkan kerugian perseroan, selama kebijakan tersebut dilakukan demi kepentingan perseroan.
Menurut Black’s Law Dictionary, business judgment rule adalah suatu peraturan yang melindungi direksi dan pengurus perseroan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan akibat transaksi yang dilakukan oleh direksi dan pengurus perseroan, jika transaksi tersebut telah dilakukan dengan itikad baik, kehati-hatian, dan sesuai batas kewenangan direksi dan pengurus perseroan. Business Judgment Rule dalam hukum Indonesia dijustifikasi dalam Pasal 97 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, bahwa:
“Anggota Direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) apabila dapat membuktikan:
a. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
b. telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan;
c. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
d. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”