Pembatasan Terhadap Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Intervensi negara terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan dapat dilakukan dengan memperhatikan sah menurut hukum, untuk mencapai tujuan yang sah dan diperlakukan dalam masyarakat secara demokratis. Pembatasan oleh negara tidak boleh dilakukan kecuali diatur oleh undang-undang yang pelaksanaannya sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik. Pembatasan terhadap kebebasan harus dipastikan benar diperlukan dan harus didasarkan pada tujuan yang sah dan telah ditentukan di dalam konvensi (Alvasker, 2010).
Rumusan masalah pada UUD NRI 1945 tidak mengatur secara spesifik hak apa saja yang boleh dibatasi diantara hak-hak lain yang dijamin didalamnya dan juga tidak secara khusus menyatakan tujuang yang sah dilakukannya pembatasan terhadap hak tersebut. Komentar Umum 22 No. 8 telah menjelaskan hak yang dijamin pada Pasal 18 Kovenan Hak SIpil dan Politik tidak dapat dibatasi kecuali telah dinyatakan didalam Kovenan dan sesuai ruang lingkup pembatasan yang diizinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 28 J. Ketentuan ini bahkan mencamtumkan nilai agama sebagai salah satu dasar untuk membatasi hak asasi manusia melalui undang-undang tak terkecuali terhadaphak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (Riyadi, 2012).
Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri Nomor 9 tahun 2006 tentang pedoman pelaksanaan tugas kepala daerah dalam memelihara kerukunan umat beragama merupakan salah satu bentuk pembatasan yang dilakukan oleh Indonesia terhadap kebebasan menjalankan agama dan kepercayaan. Kenyataannya, peraturan bersama menteri ini masih berlaku efektif dan dijadikan dasar dalam pendirian rumah ibadah di Indonesia. Substansi peraturan bersama menteri ini dirasakan tidak berkeadilan bagi minoritas karena persyaratan yang tercantum dalam pasal 14 ayat (2) susah dipenuhi.
Selain itu, sasaran yang sah diterbitkannya peraturan bersama menteri ini perlu dijelaskan oleh pemerintah. Menjadikan agama tertentu sebagai dasar pembatasan oleh peraturan bersama menteri ini rentan menmbulkan suasana diskriminatif terhadap agama lain yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Kesimpulan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 telah memberikan jaminan perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan, namun ketentuan yang tercantum didalamnya tidak secara utuh sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik terutama menyangkut penerjemahan terhadap ruang lingkup kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai kebebasan internal setiap individu.
Ketidaksesuaian ini memberi pengaruh lanjutan terhadap peraturan perundang-undangan dibawah UUD 1945 sehingga pada suatu tataran implementasinya ditemukan tindakan-tindakan diskriminatif terhadap agama atau kepercayaan minoritas dan pemeluknya didasarkan pada legitimasi aturan tersebut.