Sama halnya dengan pasal 29 Ayat (2) UUD NRI 1945, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya demikian pula dijelaskan dalam pasal 22 UU No. 39 tahun 1999. Pengaturan Hukum ini terkesan diskriminatif karena tidak menyertakan hak atas kebebasan berkeyakinan didalamnya terkesan sebagai jaminan perlindungan bagi pemeluk agama saja sehingga bagaimana dengan pemeluk keyakinan lainnya.
Pengaturan hukum yang diskriminatif ini akan menyentuk persoalan yang melibatkan wacana pemeluk agama mayoritas serta minoritas. Padahal, perlindungan terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagaimana diatur di dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik merupakan kewajiban Indonesia untuk mengimplementasikannya didalam UUD NRI 1945 secara utuh dan konsisten. Hal ini penting sebagai dasar penguatan menjunjung prinsip non diskriminasi sebagai prinsip fundamental dalam penegakan HAM.
Prinsip Non Diskriminasi Terhadap Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
Kesetaraan di depan hukum dan perlindungan hukum yang sama tanpa adanya diskriminasi merupaka prinsip dasar dan umum sehubungan dengan perlindungan hak asasi manusia. Prinsip non diskriminasi secara tegas dinyatakan dalam Pasal 2 Deklarasi Umum Hak Aasi Manusia dan Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 2 ayat (1).
Prinsip ini menjadi dasar bagi negara untuk melindungi dan memenuhi hak yang dijamin didalam Kovenan Hak Sipil dan Politik termasuk juga terhadap hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan. Kewajiban ini berarti melarang negara untuk melakukan diskriminasi baik terhadap pemeluk agama atau keyakinan apapun.
Selain itu negara juga harus memastikan bahwa tidak ada pihak ketiga (individu atau entitas lain) yang melakukan tindakan kebencian atas agama yang mengarah pada hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan. Perlindungan dan pemenuhan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan terhadap setiap individu tidak didasarkan kepada apa agama atau keyakinan yang dianut merupakan agama/keyakinan yang mayoritas/minoritas. Larangan diskriminasi ini dijamin dalam Pasal 27 Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Umumnya diskriminasi terjadi pada kalangan minoritas dan didukung oleh peraturan perundang-undangan yang diskrimatif dan secara tidak langsung melegitimasi tindakan diskriminasi yang terjadi. Demikian pula diskriminasi terhadap agama minoritas di Indonesia, sedikit banyak disebabkan ole persoalan perundangan atau regulasi secara umum.
Diantaranya Undang-Undang No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama. Undang-Undang ini menyebutkan hanya enam agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Banyak pemeluk agama/aliran kepercayaan yang belum diakui di Indonesia mengambil langkah praktis untuk menghindari kesulitan saat menghadapi birokrasi negara seperti mengisi kolom agama dalam akta sipil dengan salah satu agama yang diakui negara (Syuaedy, 2012).
Seyogyanya negara menahan diri untuk tidak melakukan intervensi atau tindakan yang berdampak pada hilangnya hak individu. Negara memiliki kewajiban untuk menghormati kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan memberikan keleluasaan bagi individu untuk memilih agama atau keyakinannya termasuk hak untuk memilih kepercayaan atau mengadopsi pandangan ateisme, hak untuk mempertagankan suatu agama atau kepercayaan dan hak untuk tidak mengungkapkan kesetiaan/keyakinan terhadap agama atau kepercayaannya (Amin,2011).