Sesuatu yang menyoalkan keagamaan merupakan suatu persoalan yang dipandang sesnsitif di setiap negara dan cenderung menimbulkan konflik sosial, termasuk juga di Indonesia. Beberapa kasus yang menggambarkan konflik sosial biasanya disebabkan oleh pengabaian terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam bentuk tindakan kekerasan, diantaranya penyerangan fisik, penganiayaan, pemerasan, pengusiran, propaganda kebencian, tindakan intoleran, dan perlakuan diskriminasi semakin meningkat.
Komnas HAM melaporkan pada periode April-Juni 2016 terdapat 11 kasus pelanggaran atas kebebasan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari ketidakmampuan negara dalam melaksanakan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak individu atas kebebasan tersebut.
Ketidakmampuan negara ini tampak dari sebagian besar kasus yang terjadi akibat dari pengabaian atau pembiaran yang dilakukan oleh negara tanpa melakukan tindakan apapun ketika pihak ketiga (non negara) melakukan pelanggaran hukum (kekerasan) terhadap pihak lain (individu) yang merupakan penganut agama minoritas.
Pembiaran oleh negara ini dapat diartikan sebagai perlindungan hukum yang tidak memadai dan diskriminatif terhadap agama-agama minoritas dan penganutnya, sehingga membuat aparatur negara tidak memiliki acuan/dasar hukum yang kuat dalam melaksanakan kewajibannya dalam penegakan HAM (Lutfy, 2016).
Ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik, sedikit banyak mempengaruhi ada ada tand ketiadaannya perlindungan negara terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dan pembentukan perundang-undangan yang tidak tepat atau sewenang-wenang dapat dijadikan dasar dapat dijadikan negara atau bahkan pihak lain sebagai dasar pembenar yang dianggap legal untuk menyerang penganut agama minoritas.
Kenyataan seperti ini dapat menimbulkan kecenderungan muncurlnya diskriminasi terhadap suatu agama atau kepercayaan tertentu dan penganutnya. Indikasi ini mendorong perlunya meninjau kembali tebtang bagaimana jaminan UUD NRI 1945 terhadap perlindungan atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan dan bagaimana implementasinya dalam kerangka penegakan HAM melalui peraturan perundang-undangan dibawahnya sehingga kewajiban negara dapat dilaksanakan dengan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik.
Pengaturan Hak Beragama dan Berkeyakinan segabagi Hak Non-Derogable (Non Derogable Rights)
Konsep Non derogable rights dimaknai bahwa beberapa hak asasi manusia bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya walaupun dalam keadaan darurat. Perbedaan yang tampak terkait dengan hak yang termasuk hak nonderogable dalam UUD 1945 dan UU No. 39 tahun 1999 yakni tidak dimasukkannya hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kontraktual (kontrak atau perjanjian lainnya) sebagaimana hak ini diakui sebagai hak nonderogable dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik dan tidak mencantumkan hak atas kebebasan berkeyakinan didalamnya, tetapi hanya menyebutkan hak beragama sedangkan didalam Kovenan Hak Sipil dan Politik menyebutkan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Hal ini menyiratkan adanya pembatasan terhadap pengertian hak kebebasan beragama dan pengertian yang seharusnya luas dan mendalam, sehingga hak ini hanya dipahami meliputi hak memeluk agama tertentu dan tidak meliputi kebebasan memeluk agama tertentu (Rhona, 2010).